TUGAS PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
BAB 2 KONSTITUSI NEGARA
Istilah konstitusi berasal dari
bahasa Perancis “Constituere”
yang berarti menetapkan atau membentuk. Pemakaian istilah konstitusi
dimaksudkan sebagai pembentukan atau penyusunan suatu negara. Adapula
konstitusi di Amerika Serikat menggunakan kata “Constitution” atau dari Belanda
menggunakan kata “Constitutie”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah
Undang-Undang Dasar, dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda
dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (ground =
dasar, wet = undang-undang) yang kedua-duanya menunjukkan naskah tertulis. Namun
pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai
arti:
1.
Lebih luas daripada
Undang-Undang Dasar, atau
2.
Sama dengan pengertian
Undang-Undang Dasar.
Dalam
praktek ketatanegaraan negara Republik Indonesia pengertian konstitusi sama dengan pengertian
Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat
(Totopandoyo, 1981: 25.26).
LATIHAN
1. Jelaskan hubungan
antara peristiwa proklamasi dengan UUD 1945!
Jawaban :
. UUD
1945 sering disebut “UUD Proklamasi” dikatakan demikian karena kemunculannya
bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan RI,
17 Agustus 1945. Sebagaimana telah
disebutkan dalam ketetapan MPRS/MPR, bahwa UUD 1945 merupakan satu kesatuan dengan Proklamasi 17
Agustus 1945 tidak dapat dipisahkan dengan UUD 1945 terutama pembukaan UUD 1945
Kebersatuan antara Proklamasi dengan pembukaan UUD 1945 tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
I.
Disebutkannya
kembali pernyataan Proklamasi Kemerdekaan dalam alinea ketiga Pembukaan
menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu rangkaian
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
II.
Ditetapkannya
pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan ditetapkannya UUD, Presiden dan Wakil
Presiden merupakan realisasi tindak lanjut dari Proklamasi.
III. Pembukaan
UUD 1945 pada hakikatnya adalah merupakan suatu pernyataan kemerdekaan yang
lebih terinci dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong
ditegakkannya kemerdekaan, dalam bentuk Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dengan berdasarkan asas kerrokhanian Proklamasi.
Berdasarkan
sifat kesatuan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, maka sifat hubungan antara Pembukaan dengan Proklamasi adalah
sebagai berikut:
Pertama, memberikan
penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945,
yaitu menegakkan hak kodrat dan hak moral dari setiap bangsa akan kemerdekaan,
dan demi inilah maka Bangsa Indonesia berjuang terus menerus sampai bangsa
Indonesia mencapai pintu gerbang kemerdekaan (Bagian pertama dan kedua
Pembukaan).
Kedua,
memberikan penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu
bahwa perjuangan gigih bangsa Indonesia dalam menegakkan hak kodrati dan hak
moral itu adalah sebagai gugatan di hadapan bangsa-bangsa di dunia terhadap
adanya penjajahan atas bangsa Indonesia, yang tidak sesuai dengam
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa perjuangan bangsa Indonesia itu telah
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemudian bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya (Bagian ketiga Pembukaan).
Ketiga, memberikan
pertanggungjawaban terhadap dilaksanakan Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan luhur,
disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia (Bagian keempat Pembukaan UUD 1945). Penyusunan UUD itu untuk dasar-dasar pembentukan pemerintahan negara Indonesia
dalam melaksanakan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa (tujuan ke dalam). Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial (tujuan ke luar atau tujuan
internasional). Proklamasi pada hakikatnya bukanlah merupakan tujuan,
melainkan prasyarat untuk tercapainya tujuan bangsa dan negara, maka proklamasi
memiliki dua macam makna sebagai berikut.
1)
Pernyataan
bangsa Indonesia baik kepada diri sendiri, maupun kepada dunia luar, bahwa
bangsa Indonesia telah merdeka.
2)
Tindakan-tindakan
yang segera harus dilaksanakan berhubungan dengan pernyataan kemerdekaan
tersebut.
Seluruh makna proklamasi tersebut
dirinci dan mendapat pertanggung-jawaban dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai
berikut.
1)
Bagian
pertama Proklamasi, mendapatkan penegasan dan penjelasan pada bagian pertama
sampai dengan ketiga Pembukaan UUD 1945.
2)
Bagian kedua
Proklamasi, yaitu suatu pembentukan negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Adapun
prinsip-prinsip negara yang terkandung dalam Pembukaan tersebut meliputi empat
hal, pertama: tujuan negara yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah negara, kedua:
ketentuan diadakannya UUD negara, sebagai landasan konstitusional pembentukan
pemerintahan negara, ketiga: bentuk
negara Republik yang berkedaulatan rakyat, dan keempat: asas kerokhanian atau dasar filsafat negara Pancasila.
Berpegang
pada sifat hubungan antara proklamasi 17 Agustus dengan Pembukaan UUD 1945 yang
tidak hanya menjelaskan dan menegaskan akan tetapi juga mempertanggungjawabkan
Proklamasi, maka hubungan itu tidak hanya bersifat korelatif, melainkan juga
bersifat kausal organis. Hal
ini menunjukkan antara Proklamasi dengan UUD 1945 terutama Pembukaan UUD 1945
merupakan suatu kesatuan yang utuh, dan apa yang terkandung dalam pembukaan
adalah merupakan amanat dari seluruh Rakyat Indonesia tatkala mendirikan negara
dan untuk mewujudkan tujuan bersama. Oleh karena itu merupakan suatu tanggung
jawab moral bagi seluruh bangsa untuk memelihara dan merealisasikannya
(Darmodihardjo, 1979 : 232,233). Dengan demikian jika kita mencermati hubungan
antara Proklamasi Kemerdekaan dengan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
hubungan suatu kesatuan bulat, serta hubungan
antara Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 yang
merupakan hubungan langsung, maka dapat disimpulkan bahwa Proklamasi
Kemerdekaan mempunyai hubungan yang erat, tidak dapat
dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila. Proklamasi Kemerdekaan, dan UUD 1945 adalah satu rangkaian yang
tidak terpisahkan. Oleh sebab itu generasi muda yang harus mengisi kemerdekaan
semestinya pada jiwanya tertanam kuat semangat untuk mempertahankan,
mengamankan, dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan Negara
Republik Indonesia.
2. Sebutkan dan
jelaskan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia!
Jawaban :
Dalam
sejarah ketatanegaraan indonesia, konstitusi atau undang-undang dasar 1945 yang
diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dan masa
berlakunya sejak diproklamasikannya kemerdekaan negara indonesia, yakni dengan
rincian sebagai berikut:
a.
Undang-Undang
Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Undang-Undang Dasar 1945 sering
disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian karena kemunculan bersamaan
dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaaan RI, 17 Agustus
1945. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pergaulatan pemikiran dalam konstitusi
begitu intens terjadi dalam persidangan-persidangan BPUPKI dan PPKI.
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis
yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta
kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar. Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945
sangat tergesa-gesa. Waktu yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam
kenyataannya dihadapkan dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar
itu Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang
karenanya harus dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka. UUD 1945
tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang
terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan
Tambahan.
Sifat kesementaraan yang melekat
pada UUD 1945 tidaklah membuat berpikir simplisitik untuk memandang UUD 1945
tidak penting apalagi menganggapnya tidak sah. Dalam pertarungannya dengan
waktu, BPUPKI dan PPKI telah berjuang semaksimal mungkin, dan karenanya apa
yang diungkapkan oleh Soekarno tersebut dapat diterima secara rasional,
meskipun janjinya untuk melakukan kajian yang lebih sempurna atas UUD 1945
tetap tidak terpenuhi sampai akhir masa kepemimpinannya.
Bentuk-bentuk peraturan dan
ketetapan dikeluarkan oleh penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar
1945, yang terdapat penyebutannya dalam Undang-Undang Dasar, ialah sama dengan
bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan pada masa sekarang yang terdapat
penyebutannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
1 Undang-Undang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
berdasar pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dibuat oleh Presiden sendiri
dalam hal ikhwal yang mendesak, dibuat berdasar pasal 22 Undang-Undang Dasar
1945.
3 Peraturan Pemerintah, dibuat oleh Presiden sendiri untuk melaksanakan
Undang-Undang berdasar pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
b. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
UUD RIS sering disebut dengan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) tahun 1949. Meskipun Indonesia
telah menyatakan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, namun tidaklah berarti
kondisi sosial-politik Indonesia semakin kondusif. UUD RIS 1949 yang disusun di
bawah bayang-bayang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 23
Agustus sampai dengan 2 November 1949. KMB menghasilkan tiga hal mendasar,
yaitu: pertama: Pembentukan Negara
Republik Indonesia Serikat; kedua:
penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan Ketiga: pembentukan UNI-RIS-Belanda.
Menurut Adnan Buyung Nasution, menjadi Konstitusi RIS dan berlaku sesudah
pengakuan kedaulatan Indonesia di Belanda. Karena itu, secara formal, dengan
UUD RIS ini perjuangan kemerdekaan nasional dan pengakuan internasional terhadap
Indonesia sebagai negara berdaulat telah tercapai. Meskipun, secara substansial
politik RIS merupakan kemenangan bagi perjuangan nasional Indonesia, namun
menurut Herberth Feith, secara hukum Belanda berhasil mamaksakan kehendaknya
yang mengakibatkan kekacauan administrasi pemerintahan yang luar biasa. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi Ratu
Juliana di hadapan ketiga delegasi menandatangi Akta Penyerahan Kedaulatan,
yang kemudian berakibat pada berlakunya dua hal, yakni pertama, semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan kedua, Konstitusi RIS 1949.
Dengan berdirinya RIS dan berlakunya
Konstitusi RIS, maka Negara Republik Indonesia hanya berstatus sebagai salah
satu daripada “Negara Bagian” saja di dalam Negara Republik Indonesia Serikat,
sebagai halnya negara-negara bagian lainnya. Adapun kekuasaan wilayahnya adalah
daerah yang disebut di dalam persetujuan Renville. Begitu juga dengan kedudukan
UUD 1945, dengan sendirinya juga berstatus sebagai UUD Negara Nagian Republik
Indonesia. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea,
Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Meskipun
demikian, Konstitusi RIS hanyalah dimaksudkan untuk bersifat “sementara”. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat
Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Bentuk-bentuk peraturan dan
ketetapan yang dapat dikeluarkan oleh penguasa pada masa berlakunya Konstitusi
RIS yang terdapat penyebutannya di dalam Konstitusi ialah:
1.
Undang-undang
Federal ialah bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Negara Federal,
harap dibedakan dengan Undang-undang Negara Bagian yang dikeluarkan oleh
masing-masing Negara Bagian.
Lain dari
pada itu menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat dikenal adanya dua jenis
Undang-undang Federal yaitu :
I.
Undang-undang
Federal yang dibuat oleh Pemerintah Federal bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Federal dan Senat Federal, yaitu peraturan-peraturan tentang
hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah-bagian atau
bagian-bagiannya ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik
Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal-pasal Konstitusi
RIS; Undang-undang Federal jenis ini dibuat berdasar pada pasal 127 a
Konstitusi RIS.
II.
Undang-undang
Federal jenis yang kedua yaitu Undang-undang Federal yang dibuat Pemerintah
Federal dan Dewan Perwakilan Rakyat Federal tanpa Senat Federal. Undang-undang
Federal jenis ini ialah dalam hal-hal apabila mengenai persoalan-persoalan yang
selebihnya, yang tidak mengenai hal-hal yang dimaksud di atas dalam pasal 127
a; jenis ini dibuat berdasar pasal 127b Konstitusi RIS.
2.
Undang-undang
Darurat Federal dibuat oleh Pemerintah Federal sendiri dalam hal ikhwal yang
mendesak, berdasar pasal 139 Konstitusi RIS.
3.
Peraturan
Pemerintah Federal dibuat oleh Pemerintah sendiri untuk melaksanakan lebih
lanjut Undang-undang Federal, berdasar pasal 141 Konstitusi RIS.
c.
Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
UUDS 1950 adalah bukti historis
kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan. Hal tersebut, tentunya tidaklah
muncul dengan sendirinya. Keinginan terbesar rakyat Indonesia merupakan “kata
kunci” lahirnya negara Republik Indonesia. UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan
43 pasal. Bentuk negara
federal, di mana wilayah-wilayah Indonesia berada dalam negara-negara bagian
menciptakan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan, tidak jarang era
pemerintahan federal Indonesia telah menciptakan revolusi pisik di beberapa
wilayah Indonesia.
Momentum peringatan Hari Ulang Tahun
Kelima RI, 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan
Indonesia. Pada saat itu, Konstitusi RIS dengan segala konsekuensinya berubah
menjadi UUD Sementara (disingkat UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Era 1950-1959 merupakan periode
demokrasi konstitusional, meskipun dalam kurun waktu itu, Indonesia hanya
bersandar di bawah UUDS 1950. Konstitusi ini sekaligus menjadi the starting point bagi upaya
pembentukan sebuah negara modern Indonesia yang berbentuk kesatuan. Menurut
catatan Mahfud, dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 merupakan bagian dari UU
Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(LNRIS Tahun 1950 No. 56), sebab pemberlakuannya ditetapkan dalam UU tersebut.
Dengan demikian fungsi UU No. 7
Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS, atau lebih tegas lagi hanya mengubah
Konstitusi RIS menjadi UUDS. Dengan sendirinya setelah UUDS 1950 itu berlaku,
maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 menjadi selesai. UU ini hanya berlaku satu kali.
Menurut Soepomo, UUDS 1950 adalah
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara formil
sebuah perubahan Konstitusi Sementara RIS. Perubahan Konstitusi RIS
memungkinkan dilakukan guna melahirkan UUD yang baru mengingat perubahan
konstitusional ketatanegaraan akan berubah seiring dengan perubahan konstitusi,
sesuai dengan amanat Pasal 190 ayat (1) Konstitusi RIS, yang berbunyi sebagai
berikut:
Dengan tidak mengurangi yang
ditetapkan dalam Pasal 51, ayat kedua, maka konstitusi ini hanya dapat diubah
dengan undang-undang federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hanya
diperkenankan atas kuasa undang-undang federal, baik Dewan Perwakilan Rakyat
maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul
untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang
menghadiri rapat.
Berbeda dengan dua konstitusi
sebelumnya, UUD 1945 dan Konstitusi RIS 1949, kesementaraan UUDS 1950 lebih
eksplisit ditegaskan. Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal
proses perumusan sebuah UUD masih diserahkan kepada lembaga yang representatif
yang memiliki otoritas. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 134 Konstitusi RIS
menyatakan bahwa, Konstituante (Sidang
Pembuat Undang-Undang Dasar) berama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar ini
(Konstitusi RIS, pen.). untuk merealisasikan keinginan tersebut, maka
dilaksanakan pemilihan umum (general
election) pada tahun 1955, pemilu pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan
Indonesia.
Bentuk-bentuk peraturan dan
ketetapan yang dapat dikeluarkan oleh penguasa pada masa Undang-undang Dasar
Sementara yang terdapat penyebutannya di dalam Undang-undang Dasarnya ialah :
1.
Undang-undang
yaitu bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, berdasarkan pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara.
2.
Undang-undang
Darurat yaitu dibuat oleh Pemerintah sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak,
berdasarkan pasal 95 Undang-undang Dasar Sementara.
3.
Peraturan
Pemerintah dibuat oleh Pemerintah sendiri berdasarkan pasal 98 Undang-undang
Dasar Sementara, untuk melaksanakan lebih lanjut pasal 89 Undang-undang Dasar
Sementara.
d.
Undang-undang
Dasar 1945 (5 Juli 1959 - 19 Oktober 1999)
Sebagaimana halnya UUD 1945 dan
Konstitusi RIS 1949, masa berlaku UUDS 1950 pun terbilang singkat. Sejak
berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, maka melalui Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada
pemberlakuan UUD 1945. Sehubungan dengan
hal itu, Mohammad Tolchah Mansoer mengatakan sebagai berikut:
Kalau pada hari-hari pertama
menjelang proklamasi kita menyusun Undang-Undang Dasar dirangsang oleh
keinginan dan cita-cita terbentuk negara, dari tiada bernegara sendiri menjadi
bernegara sendiri, kemudian menghadapi Konstitusi RIS kita sesungguhnya
menghadapi secara langsung fisik dan psikis penjajah, lalu kita kembali kepada
asal cita-cita kita dan terbentuklah Undang-Undang Dasar Sementara RI, tetapi
menghadapi kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, sesungguhnya kita ditandai
oleh ketidakstabilan di dalam negeri.
Kenyataan ini berimplikasi kepada
materi muatan konstitusi itu sendiri. Apa yang pernah dimuat dalam UUD 1945
pada masa awal berlakunya, dinyatakan berlaku kembali terhitung sejak tanggal 5
Juli 1959 sampai dengan jatuhnya Pemerintahan Soeharto Mei 1998. Dengan kata
lain, berlakunya UUD 1945 untuk kedua kalinya memiliki masa berlaku yang
relatif lebih panjang dibandingkan UUD sebelumnya, termasuk UUD 1945 periode
proklamasi.
Berdasarkan hasil Pemilu 1955,
sebenarnya Konstitusi diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah
UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang
Dasar) bersama-sama pemerintahan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Hanya
saja, selama persidangan maraton Majelis Konstituante yang beranggota 544
orang, sejak 10 November 1956, telah terjadi perdebatan yang hangat dalam tiga
agenda pembahasan, yakni: pertama, dasar
negara (1957); kedua, HAM (1958); dan
ketiga, pemberlakuan kembali UUD 1945
(1959).
Perdebatan di tubuh Konstituante
menimbulkan reaksi tersendiri di masyarakat dan pemerintah. Ditambah lagi,
suasana sosial-politik dan keamanan Indonesia berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Maka, di sinilah muncul desakan di luar Konstituante agar
Majelis Konstituante menghentikan segala pembahasan dan menyatakan kembali
kepada UUD 1945. Munculnya ide terakhir ini mengingat secara formal, UUDS 1950
menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh kembali sistem
pemerintahan dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, maka UUD 1945
menjadi pilihan yang terbaik, meskipun kemunculan ide ini mengundang reaksi
yang tidak kecil di kalangan Majelis Konstituante.
Guna memperkokoh kedudukannya
sebagai Presiden, Soekarno melalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari 1959
di Bogor, telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy)
di bawah Soekarno dengan menegaskan kembali UUD 1945. Keputusan Dewan Menteri
ini merupakan langkah awal kearah pemberlakuan kembali UUD 1945. Dalam
putusannya mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya prinsip
demokrasi terpimpin. Dan demokrasi terpimpin adalah demokrasi. UUD 1945, dalam
keputusan Dewan Menteri itu, dipertahankan sebagai keseluruhan. Adapun mengenai
perubahan UUD 1945 dikembalikan pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
Keputusan inilah yang kemudian yang
dijadikan sebagai alat mobilitas kekuatan di luar Konstituante sehingga
persidangan Majelis Konstituante menjadi tidak kondusif. Bahkan, tekanan secara
politik yang dilakukan oleh kekuatan Angkatan Darat yang mendesak agar
secepatnya mengambil langkah untukkembali kepada UUD 1945 merupakan bentuk
intervensi pemerintah yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Realitas politik ini semakin
diperkeruh dengan suasana perpolitikan Indonesia yang mengkhawatirkan. Beberapa
bentuk pemberontakan muncul sebagai artikulasi politik yang tidak terakomodasi,
baik atas nama kepentingan lokal dan pertarungan ideologis antara negara dan
masyarakat maupun pertarungan kekuasaan di lingkungan Angkatan Darat. Atas
dasar itulah, Presiden Soekarno menyatakan negara dalam keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg) dan kemudian
mengeluarkan Dekrit Prsiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: pertama, pembubaran Konstituante; kedua, memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga, penarikan kembali UUDS 1950 dan dalm waktu
sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD
1945.
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) model Soekarno tidak
lebih sebagai upaya menciptakan legitimasi pemerintahan yang otoriter.
Terputusnya pemerintah di tangan Soekarno mengakibatkan kontrol atas pemerintahan
melemah seiring dengan masuknya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam
tubuh pemerintahan. Atas dasar itu, kelangsungan pemerintahan Indonesia
mengalami suasana tidak kondusif dan memprihatinkan yang puncaknya terjadi pada
peristika Gerakan 30 September 1965.
Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, praktis hukum dasar ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana setback. Dekrit tersebut menjadi dasar
hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945.
e.
Amandemen
UUD 1945
Perubahan UUD merupakan paket
terbesar dan terpenting dari sekalian paket reformasi. Mengapa tidak? Perubahan
ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan nasional ke depan.
Kehidupan generasi mendatang sangat akan ditentukan oleh kejelasan hukum dasar
bangsanya hari ini. Jika tidak mampu melahirkana antisipasi konstruktif agenda
jangka panjang dengan terbitnya UUD yang komprehensif, maka sangat tidak dapat
dibayangkan seperti apa arah kehidupan bangsa apalagi generasi di masa
mendatang.
Perubahan sebuah komstitusi harus
dipahami secara objektifproporsional. Perubahan UUD bukanlah berarti
menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan anak-anak bangsa dan ikatan NKRI, tetapi
harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa depan bansa dalam
proses perubahan yang bertanggung jawab.
Dengan paradigma ini, akan membentuk
sikap yang proporsional bahwa perubahan konstitusi, selain menghendaki sebuah
keterjalinan rasa dan jiwa bangsa dalam kesatuan NKRI, juga berisikan upaya-upaya
pembenahan konstruktif secara sistematis dan sinergis bagi segenap proses
pembangunan kehidupan nasional hari ini dan akan datang.
K. C Wheare, ahli hukum tata negara
Inggris dalam karyanyayang kerap dijadikan rujukan tentang konstitusi, Modern Consitution, mengatakan bahwa
sebuah proses perubahan di hampir semua konstitusi modern harus dilakukan
dengan: (1) pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan, dan dengan sadar
(that the Constitution should be changed
only with deliberation, and not lightly or wantonly); (2) melibatkan peran
serta masyrakat secara aktif atas perubahan yang ada (that the people should be given an opportunity of expressing their
views before achange is made); dan (3) terjaminnya hak-hak pribadi dan
masyarakat (that individual or community
rights ... should be safeguarded).
Ketiga argumetasi penting ini
menggambarkan bahwa perubahan konstitusi atau perubahan UUD (grondwetwijziging) adalah hal yang wajar
dilakukan. Hal tersebut menjadi niscaya manakala keterdesakan untuk melakukan
diperoleh setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang dan bijaksana.
Ketiga poin di atas mengisyaratkan letak pentingnya prasyarat-prasyarat dalam
melakukan proses amandemen.
Dalam konteks perubahan UUD 1945,
keniscayaan tersebut mengisyaratkan pula terbinanya kesadaran kolektif
berbangsa akan penting dan hadirnya sebuah mekanisme perubahan yang dilakukan
atas dasar tanggungjawab bersama demi keutuhan, kelangsungan dan masa depan
rakyat Indonesia.
Mekanisme yang dimaksud adalah bahwa
perubahan UUD 1945 mensyaratkan terbebasnya proses perubahan yang dilakukan
dari berbagai hal minor yang akan mengotori hasil UUD 1945 itu sendiri. Oleh
karena itu, meminjam istilah Todung Mulya Lubis, dibutuhkan sebuah morality of the constitution, yakni
menemukan karakteristik konstitusi dengan mengedepankan sebuah upaya akomodasi
suara dan kepentingan seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi terselubung.
Perjalanan Amandemen UUD 1945
sepenuhnya berada dalam kewenangan MPR sebagaimana digariskan dalam Pasal 37
UUD 1945. Posisi dan kedudukan MPR dengan kewenangannya tersebut telah
mengundang perdebatan yang tajam di kalangan masyarakat. Pada tanggal 19Oktober
1999,melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945 untuk
disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000.
Oleh karena PAH I BP MPR tak mampu menyelesaikan
perubahan UUD 1945 secara tuntas, maka masa kerja PAH I BP MPR diperpanjang
samapi Sidang Tahun MPR Tahun 2002. Tersedatnya proses penyelesaian perubahan
UUD 1945 ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya yang paling dominan
adalah: pertama, terbatasnya waktu
bagi anggota PAH I BP MPR karena disibukkan oleh agenda-agenda persidangan MPR,
DPR, dan PAH I BP MPR sendiri. Kedua,
kaburnya muatan substansial serta batasan-batasan perubahan yang dilakukan
sebagai akibat tarik-menarik kepentingan politik.
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan
UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD
1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi pembangunam nasional sejak
turunnya rezim Soeharto (1967-1998). Terdapat 4 kali perubahan yang
berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.
1.
Undang-Undang
Dasar 1945 dan perubahan I (19 oktober 1999 - 18 agustus 2000)
Perubahan I berlangsung dalam
Sidang Umum MPR pada tanggal 14-21 Oktober 1999. Perubahan I UUD 1945 terdiri 9
pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17,
Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum inti Perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal
kekuasaan Presiden (eksekutif). Selama periode keberlakuan UUD 1945 kekuasaan
presiden yang kuat. Presiden menjadi pusat kekuasaan yang tanpa batas. Prinsip concentration of power and responsibility
upon the president dimanipulasi sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga
negara lain di luar eksekutif menjadi tidakberfunsi dan dalam waktu yang
panjang mengalami “mati suri”.
2.
Undang-undang
dasar 1945 dan perubahan I dan II (18 agustus 2000 - 9 November 2001)
Adapun Perubahan II UUD 1945
ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000.
Beberapa perubahan terdiri dari 5 Bab dan 25 Pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A,
Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X,
Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII,
Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
3.
Undang-Undang
Dasar 1945 dan perubahan I,II, dan III (9 November 2001 -10 Agustus 2002)
Perubahan III UUD 1945
ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1 sampai 9 November 2001. Beberapa
perubahan yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal
3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Bab
VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal
23C, Bab VIIIA, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal
24B, dan Pasal 24C.
4.
Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I,II,III, dan IV (10 Agustus 2002)
Perubahan IV UUD 1945
ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002.
Beberapa perubahan terdiri atas 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A,
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal
32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Namun demikian, menarik untuk diamati bahwa ternyata,
meskipun hasil amandemen IV UUD 1945 secara resmi ditetapkan melalui Tap MPR
No. 1/MPR/2002, namun Tap MPR tersebut menyatakan bahwa dipandang perlu
membentuk suatu Komisi Konstitusi (KK) yang bertugas melakukan pengkajian
secara komprehensif tetang Perubahan UUD 1945.
Hasil Perubahan IV UUD 1945 sebagai
hasil dari totalitas Perubahan UUD 1945 mengundang pro-kontra di kalangan
masyarakat. Selain muatan dan proses perubahnnya sangat diwarnai dengan vested interest para politisi MPR,
paradigama konstitusionalismenya pun dinilai “kabur” dari semangat kehidupan
nasional Indonesia. Keluarnya Tap MPR No. 1/MPR/2002 yang kecuali sebagai
pertanda bahwa “Konstitusi 2002” itu belum terealisasi dengan baik, juga
mengindikasikan bahwa MPR sudah mulai peka terhadap masukan-masukan dan sikap
kritis masyarakat. Sikap terbuka dan pengakuan tidak langsung MPR ini juga
mengisyaratkan pentingnya upaya kolaborasi yang sinerjik antara MPR danrakyat.
Wacana
keberadaan KK berikut juga klaim atas rancu dan rendahnya kualitas “Konstitusi
2002” versi MPR mendapatkan perhatian serius dari publik. Berbeda dengan KK
versi MPR, yang sepenuhnya adalah hasil bentukan Badan Pekerja dan dipandang
memiliki independensi yang “minor”, maka sejumlah tokoh dan ilmuwan Hukum Tata
Negara dan Ilmu Politik membentuk sebuah “proyek” komisi konstitusi independen
yang bernama Koalisasi untuk Konstitusi Baru.
Munculnya Koalisi Komisi Konstitusi
harus dipahami sebagai sebuah alur berpikir yang dewasa. UUD 1945 harus
memiliki kekuatan fundamental dan menjadi referensi bagi kerangka pembangunan
nasional. Atas dasar itu, UUD 1945 yang diamandemen harus melalui proses kerja
yang bijaksana. Dorongan ke arah terciptanya konstitusi baru yang lebih
mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat adalah cita-cita seluruh rakyat
Indonesia.
Munculnya kelompok-kelompok
masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi untuk Konstitusi Baru dan sebagainya
adalah sebuah realitas dalam kehidupan demokrasi. Kecuali itu, agar tercapai
maksud mulia baik versi MPR maupun dari Koalisi sendiri, untuk membangun
konstitusi baru yang memiliki paradigma kerakyatan.
Kehadiran konstitusi adalah sebuah
keniscayaan. Karena itu, proses penyempurnaan dan kematangan konstitusi mutlak
dilakukan. Persoalan konstitusi adalah persoalan eksistensi bangsa, meminjam
istilah ahli hukum Afrika Selatan, konstitusi sebagai autobiografi suatu
bangsa. Keterjaminan dan kelangsungan hidup anak bangsa akan sangat diukur dari
sejauh mana konstitusionalisme Indonesia memberikan dasar yang kokoh dalam
menyahuti perkembangan dan perubahan zaman.
BAB 3 HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia menurut Miriam
Budiardjo (2008) adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat, tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan
bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia
harus memperoleh kesempatan unutk berkembang sesuai dengan bakat dan
cita-citanya.
Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB, sebagaimana diikuti
Baharudin Lopa, (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), hak asasi manusia adalah hak-hak
yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia tidak dapat hidup
sebagai manusia.
LATIHAN
1. Jelaskan instrumen nasional dan internasional HAM!
A.
Instrumen Nasional HAM
yaitu sebagai berikut.
1). Undang–Undang Dasar 1945
Istilah
hak asasi manusia dalam UUD 1945 secara eksplisit tidak ada, namun secara implisit
kita dapat menafsirkan bahwa hak asasi manusia dapat ditemukan pada bagian
Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan pada bagian batang tubuh UUD 1945 mulai
pasal 27 sampai dengan pasal 31. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan
sebagai berikut. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Dari bunyi paragraf pertama
Pembukaan UUD 1945 ini jelaslah bahwa hak asasi manusia terutama hak
kemerdekaan bagi semua bangsa mendapat jaminan dan dijunjung tinggi oleh seluruh
bangsa Indonesia.
Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dapat
dibagi menjadi lima dimensi sebagai berikut:
1. Hak atas kebebasan berbicara dan mengeluarkan
pendapat (pasal 28)
2. Hak atas kebebasan
beragama (pasal 29)
3. Hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul (pasal 28)
4. Hak atas perlindungan dan kedudukan yang sama di
depan hukum (pasal 27 ayat
1)
5. Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat
2)
6. Hak atas pendidikan
(pasal 31).
Pengakuan akan hak asasi
manusia dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945, di dalam alinea I: “.....Kemerdekaan ialah hak segala
bangsa...dst.” alinea ini menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap
hak kemerdekaan bagi semua bangsa dan pernyataan anti penjajahan.
Di dalam alinea II dinyatakan : “...mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.” Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik dan
ekonomi.
Di dalam alinea III dinyatakan:”...Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas...”dst, menunjukkan pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah Tuhan
Yang Maha Esa.
Di dalam alinea IV dinyatakan :”...melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan
ketertiban dunia...” dst. Alinea
ini merumuskan dasar Pancasila yang mengandung pengakuan akan hak – hak asasi
manusia.
Pengakuan akan hak asasi manusia juga termuat di
dalam pasal–pasal yang terdapat pada Batang Tubuh UUD 1945.
a). Pasal 27
Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi.
b). Pasal 28 A
Pasal ini memberikan
jaminan akan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
c). Pasal 28 B
Pasal ini memberikan jaminan
untuk membentuk keluarga, melanjutkan perkawinan melalui perkawinan yang sah,
jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan
anak dari kekerasan dan diskriminasi.
d). Pasal 28 C
Pasal ini memberikan
jaminan setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar
dan mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni, dan budaya serta hak kolektif dalam bermasyarakat.
e). Pasal 28 D
Pasal ini mengakui,
menjamin perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di
depan hukum, hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, hak atas status kewarganegaraan.
f). Pasal 28 E
Hak kebebasan untuk
memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak untuk kembali, Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
g). Pasal 28 F
Hak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi.
h). Pasal 28 G
Hak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, hak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi manusia, hak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
i). Pasal 28 H
Hak untuk hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak untuk
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan,
hak atas jaminan sosial, hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih
sewenang-wenang oleh siapapun, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut (retroaktif).
j). Pasal 28 I
Hak untuk bebas dari
perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminatif tersebut, hak atas identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional.
k). Pasal 28 J
Pasal ini menegaskan
perlunya setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Juga menegaskan bahwa
pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan-pembatasannya sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
negara demokratis.
l). Pasal 29
Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
m). Pasal 31
Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
n). Pasal 32
Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya. o). Pasal 33
Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya.
p). Pasal 33
Hak atas
jaminanan dalam bidang
ekonomi berupa hak
memiliki dan menikmati hasil
kekayaan alam Indonesia .
q). Pasal 34
Hak atas jaminan bagi
anak terlantar dan fakir miskin.
2). Undang – undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ada ketentuan yang secara
eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang berisikan
pasal 28 A sampai 28 J (penyempurnaan pasal 28). Dalam UU tersebut tampak bahwa
jaminan hak asasi manusia lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab
dan pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas 11 bab dan 106
pasal. Apabila dicermati, jaminan tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan
penjabarannya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 secara garis besar
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Hak untuk hidup. Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf
kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin
serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak
untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun
kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara
obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan
benar.
5 Hak atas
kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama
masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih
kewarganegaraan tanpa diskriminasi,
bebas bergerak, berpindah
dan bertempat tinggaldi wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak
mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum
serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan,
kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan
memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam
pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan
pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang
wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan
pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
Disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan
atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan
oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan,
pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya
secara melawan hukum.
3). Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak
Pada bulan Desember 1989 Majelis Umum PBB menyepakati
sebuah resolusi yaitu resolusi tentang konvensi hak-hak anak ( Convention on The Rights of
the Child ).
Pada tahun 1990,
pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hak-hak anak ini dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-
hak Anak.
4). Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam.
Ketentuan pokok konvensi ini mengatur tentang pelarangan
penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau
atas hasutan dari atau dengan persetujuan sepengetahuan pejabat publik dan
orang lain yang bertindak dalam jabatannya.
B. Berbagai instrumen HAM yang
berlaku secara internasional, diantaranya:
a. Kovenan International tentang
Hak – hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant
on Economic, Social and Culture Rights).
Kovenan ini lahir pada
tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 3 Januari 1976.
Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia memiliki hak ekonomi, sosial dan
budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup:
1) hak atas pekerjaan,
2) hak untuk membentuk serikat kerja,
3) hak atas pensiun,hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya dan
keluarganya, termasuk makanan,
pakaian dan perumahan yang layak,
4) hak atas pendidikan.
b. Kovenan Internasional tentang
Hak – hak Sipil dan Politik (The International Covenanton
Civil and Political Rights/ICCPR).
Kovenan ini lahir tahun
1966, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan berlaku pada 23 Maret pada 1976. Hak –
hak sipil dan politik yang dijamin dalam kovenan ini yaitu :
1) hak atas hidup,
2) hak atas kebebasan dan keamanan diri,
3) hak atas keamanan di muka badan – badan peradilan,
4) hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, beragama,
5) hak berpendapat tanpa mengalami gangguan,
6) hak atas kebebasan berkumpul
secara damai,
7) hak untuk berserikat.
c. Protokol Opsional pada Kovenan
Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.
Protokol opsional ini,
diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 23 Maret 1976. Protokol
Opsional/pilihan berisikan pemberian tugas pada Komisi Hak –Hak Asasi Manusia
untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu – individu warga
dalam wilayah kekuasaan negara peserta Kovenan yang menjadi peserta Protokol,
yang mengaku telah menjadi korban pelanggaran terhadap salah satu hak yang
dikemukakan dalam Kovenan Hak –hak Sipil dan Politik. Pengaduan itu dapat
diajukan secara tertulis kepada Komisi Hak–Hak Asasi Manusia.setelah semua
upaya domistik (dalam negara warga yang bersangkutan) yang tersedia telah di
tempuhnya, tetapi tidak menampakan hasil.
d. Protokol Opsional Kedua terhadap
Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik dengan tujuan
Penghapusan Hukuman Mati. Protokol
ini diadopsi pada 15 Desember 1989, dan berlaku pada 11 Juli 1991.
e. Konvensi Internasional Penghapusan Semua
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Agains Women/CEDAW ).
Konvensi ini mulai berlaku
tahun 1981. Dokumen ini merupakan alat hukum yang paling lengkap (komprhensif)
berkenaan dengan hak – hak asasi wanita, dan mencakup peranan dan status
mereka. Dengan demikian dokumen ini merupakan dasar untuk menjamin persamaan
wanita di negara – negara yang meratifikasinya.
f. Konvensi Internasional
Penghapusan terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).
g. Konvensi Hak – hak Anak (Convention
on the Rights of the Child).
Konvensi ini disepakati
Majlis Umum PBB dalam sidangnya ke 44 pada Desember 1989. Menurut konvensi ini,
pengertian anak yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun.
Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak menentukan batas umur
yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi ini dicetuskan karena ternyata di
berbagai belahan dunia meskipun telah di deklarasikan DUHAM yang juga
melindungi harkat anak – anak sebagai manusia, ternyata belum dilaksanakan
dengan baik. Banyak anak dipekerjakan di bawah umur, di kirim ke medan perang, diperkosa, dll. Perlakuan anak sebagai
manusia sepenuhnya masih diabaikan. Misalnya, anak – anak tidak pernah didengar
suara dan pandangan mereka, ketika menetapkan suatu kebijakan publik maupun
kebijakan yang menyangkut anak sendiri. Padahal mereka akan terkena akibat atau
akan merasakan dari setiap kebijakan publik yang
diambil.
2. Jelaskan upaya
yang telah dilakukan
pemerintah dalam memajukan,
dan melindungi HAM di Indonesia!
Perkembangan untuk memajukan dan melindungi HAM di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya dinamika politik dalam negeri dan
internasional. Oleh karena itu, di selain adanya pengaruh dari faktor-faktor
subyektif dan obyektif seperti kepentingan nasional dan sejarah nasional, maka
lingkungan eksternal yang dalam hal ini adalah sikap dan pandangan dunia
internasional, turut mempengaruhi upaya pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia.
Cita-cita untuk memajukan dan melindungi HAM di Indonesia
bukanlah hal yang baru. Para pendiri negara ini telah memikirkan masalah HAM,
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan isi dari UUD 1945 itu
sendiri. Namun upaya pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia mengalami pasang
surut sesuai perkembangan politik dan pembangunan bangsa. Pada masa-masa
lalu, yaitu masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, kehidupan sosial-politik
negara sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang otoriter yang dibarengi
dengan ketidakadilan kondisi sosial-ekonomi. Seluruh elemen HAM penting, yaitu
hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat terabaikan, dibatasi dan
dilanggar. Kebijakan yang lebih diutamakan adalah penciptaan stabilitas politik
yang ditujukan untuk menunjang pembangunan ekonomi. Pemajuan dan perlindungan
HAM serta demokrasi berjalan sangat lambat dan bahkan cenderung dikorbankan.
Tidak adanya demokrasi bahkan telah menyebabkan mudahnya
terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap hak-hak sipil yang
melekat pada setiap individu (non-derogable
rights), seperti penahanan semena-mena, penyiksaan, penghilangan secara
paksa dan pembunuhan. Selama masa itu pula Indonesia menjadi bulan-bulanan
kritik dan kecaman masyarakat internasional, terutama setelah terjadinya
tragedi Santa Cruz, Timor Timur.
Perhatian terhadap HAM mulai bergeser seiring dengan
perubahan di dunia internasional pada akhir tahun 1980-an dan terus bergulir
pada era reformasi menuju demokrasi. Isu HAM menjadi isu penting dalam agenda
kebijakan dan politik luar negeri negara-negara maju (kelompok Barat). Kondisi
global tersebut telah memberikan dorongan tumbuhnya kesadaran masyarakat
domestik Indonesia akan pentingnya pemajuan dan perlindungan HAM. Hal ini pula
yang menjadi pertimbangan penting bagi Departemen Luar Negeri dalam meletakan
isu HAM dalam konteks kepentingan nasional dalam kebijakan hubungan luar
negeri.
Upaya-upaya yang dilakukan Departemen Luar Negeri sebagai
institusi pemerintah dan didukung para pemangku kepentingan lainnya yang sejak
awal tahun 1990-an melakukan kebijakan pro-aktif dan bukan reaktif dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan arti penting penghormatan terhadap
HAM mulai menunjukan hal yang positif seiring dengan perubahan yang terjadi di
dalam negeri dari proses era reformasi menuju era demokrasi. Di bawah
kepemimpinan Presiden Habibie, Megawati, Abdurrahman Wahid dan Presiden S.B.
Yudhoyono, pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia mengalami kemajuan pesat
dan luar biasa dan hal ini diakui dunia internasional.
Sejak saat itu terdapat kemajuan di bidang HAM yang
monumental di Indonesia, terutama menyangkut aspek legislasi nasional dan
kelembagaan dengan meratifikasi berbagai instrumen pokok HAM internasional,
termasuk UU 12 dan 11 mengenai Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Adanya Komisi Nasional HAM, terbitnya UU no.39
tahun 1999 mengenai HAM dan UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM semakin
memperkokoh upaya penegakan HAM di Indonesia.
Di bidang kelembagaan, Indonesia merupakan salah satu
dari sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM ke-1
periode 1998-2003 dan RANHAM ke-2 periode 2004-2009). Demikian halnya di bidang
penegakan HAM dari aspek hukum, Indonesia merupakan salah satu dari hanya
sedikit yang memiliki pengadilan HAM. RANHAM tersebut di atas terus berkembang
dan dijabarkan menjadi RANHAM di berbagai daerah. Selain itu telah berdiri pula
Pusat-pusat Kajian HAM di sejumlah perguruan tinggi.
Indonesia juga melangkah
maju, yaitu disamping terbentuknya Komnas HAM, terbentuk pula Komnas Perempuan,
Komnas Perlindungan Anak Indonesia serta institusi HAM nasional lainnya,
termasuk terbentuknya Direktorat Jenderal HAM di Departemen Hukum dan HAM,
adanya Direktorat HAM di Departemen Luar Negeri serta beberapa institusi
pemerintah yang mengurusi masalah HAM.
Upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah
menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan
pemantapan demokratisasi yang sedang berlangsung. Saat ini, masalah HAM telah
menjadi salah satu aspek utama dalam pembangunan nasional sebagaimana tercantum
dalam “Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009” yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 yang diterbitkan
melalui Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005.
Namun harus kita akui
masih adanya beberapa isu yang menjadi perhatian dunia internasional, seperti
situasi HAM di Papua; tuduhan pelanggaran HAM masa lalu dengan Timtim;
penangkapan, penghilangan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM (seperti almarhum
Munir), penutupan dan diskriminasi tempat ibadah; tindakan kekerasan bernuansa
kesukuan dan agama.
Pemajuan dan perlindungan
HAM telah menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi
dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung. Bangsa Indonesia
melalui wakil-wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap yang lebih tegas
dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan
No.XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti dengan perubahan
kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal yang secara rinci dan tegas mengatur
tentang pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk lebih melindungi clan memajukan
HAM, Pemerintah telah mengesahkan Undang Undang HAM No.39 tahun 1999 dan
Undang-Undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hingga
saat ini Indonesia telah meratifikasi 4 dari 6 instrumen pokok HAM
intemasional, yaitu Konvensi PenghapusanDiskriminasi terhadap Perempuan,
Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan clan, Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Indonesia telah pula
menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak dan Protokol Tambahan
Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia saat ini sedang
dalam proses meratifikasi Kovenan Intemasional Hak-Hak Sipil clan Politik dan
Kovenan Intemasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah
peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya
trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No.87
tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A).
Dalam hal kelembagaan,
Komisi Nasional HAM telah dibentuk pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden
No.50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.39 tahun
1999, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah dibentuk pada tahun 1998
dengan Keputusan Presiden no.181 tahun 1998, dan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia dibentuk pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden no. 77 tahun
2003. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden no.40 tahun 2004 telah
mengesahkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) Indonesia Kedua tahun 2004 -
2009 yang merupakan kelanjutan dari RAN HAM Indonesia Pertama tahun 1998 -
2003. RANHAM Indonesia disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan,
pemajuan pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan
nilai-nilai agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
RANHAM Indonesia juga
dimaksudkan sebagai panduan dan rencana umum dengan kerangka waktu yang jelas
untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM,
termasuk untuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran HAM.
Kelompok rentan mendapat perlakuan khusus agar kepentingan mereka dapat
terakomodasi dengan baik dalam pelaksanaan RANHAM tahun 2004-2009.
Enam program utama RANHAM Kedua tahun 2004 - 2009,
yaitu:
1.
Pembentukan dan
penguatan institusi pelaksana RANHAM
2.
Persiapan ratifikasi
instrument HAM internasional
3.
Persiapan harmonisasi
peraturan perundang-undangan
4.
Diseminasi dan
pendidikan HAM
5.
Penerapan norma dan
standar HAM
6.
Pemantauan,
evaluasiclan pelaporan
Berbagai kerjasama
Internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah dilakukan oleh
Pemri. Beberapa diantaranya adalah Penyelenggaraan Loka Karya HAM Regional
Kedua untuk kawasan Asia Pasifik tahun 1993 dan MOU Pemri - KTHAM di bidang
kerjasama teknik di bidang HAM tahun 1998. Di tingkat ASEAN, sejak tahun 1993
Indonesia menjadi salah satu pelopor bagi upaya pembentukan mekanisme HAM ASEAN
dan telah dua
kali menjadi tuan rumah Lokakarya Kelompok Kerja Pembentukan Mekanisme HAM
ASEAN.Indonesia juga mendorong kerjasama bilateral dalam upaya pemajuan HAM
dengan Kanada, Norwegia dan Perancis, dalam rangka ASEM bersama Swedia,
Perancis dan China serta kerjasama Plurilateral bersama China, Kanada dan Norwegia.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Mahfud, Moh.
2003. Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
·
Rosyada,
dede dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana.
·
El-Muhtad,
Majda. 2007. Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD
1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana.
·
Joeniarto.
1974. Selayang Pandang Tentang;
Sumber-sumber Hukum Tatanegara Di
Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
·
Soebagio, M
.1976. Lembaran Negara Republik-Indonesia
sebagai Tempat Pengundangan dalam
Kenyataan. Bandung: Alumni.
·
Kaelan.
2010. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: “Paradigma”
·
Hanafie,
Usmana dkk. 2013. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi;
Membina Karakter Warga Negara yang Baik. Banjarmasin: UPT MKU (MPK-MBB) Universita Lambung Mangkurat.
·
Bahagijo,
Sugeng dan Asmara Nababan. 1999. Hak
Asasi Manusia;Tanggung Jawab Negara,
Peran Institusi Nasional dan Masyarakat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.