A.R

A.R
The Win

Minggu, 02 November 2014

Kepercayaan Masyarakat Di Indonesia



RESUMAN
“ TIGA KEPERCAYAAN YANG ADA DI INDONESIA”

1    A. Kepercayaan Masyarakat Sunda
Sulit untuk mengidentifikasikan kepercayaan asli Sunda. Jika dicoba mentrasir kepercayaan orang baduy (luar), tampak sekali adanya pengaruh agama Hindu dan sedikit pengaruh Islam. Pengaruh Islam ini dapat dilihat dari dikenalkannya istilah-istilah, Allah dll. Bahkan dalam pantun-pantun buhun (kuno) Bogor, istilah-istilah dari bahasa Arab sudah mauk. Kepercayaan akan adanya Hyang Tunggal menunjukkan persamaan dengan Hindu Bali. Sedangkan dalam beberapa legenda kepercayaan akan Hyang Tunggal tsb, tidak disebut-sebut. Dari beberapa legenda dapatlah diketahui, bahwa Sunan Ambu (Wanita) di Kahyangan menurun kan keturunan ke dunia, yang kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang dirajai oleh Prabu Siliwangi. Cucunya di dunia bisa memasuki Kahyangan dan bertemu dengannya untuk memberi petunjuk kepada cucunya itu, asal saja ia mempunyai keistimewaan atau memenuhi syarat. Hal ini ditemukan dalam legenda Mundinglayadikusumah.
             Suatu hal yang menarik adalah dalam garis keturunan tersbut tidak di sebut-sebut tentang pria, sekalipun raja di dunia adalah Prabu Siliwangi yang umum berpendapat dia adalah laki-laki. Ketika Mundinglaya akan memasuki Kahyangan, Sunan Ambu telah mengetahuinya dan bahkan disebutnya bahwa Mundinglaya itu adalah keturunannya, yaitu cucunya Nyi Nagawiru dan anaknya Nyi Padmawati.
             Dalam legenda lain yaitu Lutung Kasarung, dikisahkan betapa Sunan Ambu bisa mengirimkan cucu pria yang bernama guru Minda ke dunia jatuh cinta kepadanya, akhirnya mendapat jodohnya yatu putrid bungsu dari ketujuh putrid Prabu Siliwangi. Tidak disebutkan siapa ayah guru Minda dan bagaimana peranan laki-laki di Kahyangan.
             Dalam dua legenda tersebut tidak disebut-sebut tentang Hyang Tunggal, atau Siwa, Brahma, Wisnu ataupun Dewa-dewa Hindu lainnya; dan juga tidak disebut-sebut tentang Batara Guru. Kabayan Dewa (Narada), Bayu, Indra dan Lain-lain dewa pewayangan. Dalam legenda yang mengisahkan tentang terjadinya padi, kelapa, enau dan lain-lain tanaman dari atas kuburan seorang putrid cantik, barulah berperan Bahtara Guru, Narada (Kabayan Dewa) dan Dewa Antaboga, Dewa Naradalah yang membawa tanaman-tanaman tersebut kepada Prabu Siliwangi untuk ditanam dan dimakan. Sebelumnya orang memakan umbi-umbian. Hal yang menarik ialah justru telah dikenalnya penguburan mayat dalam cerita ini, yaitu putri cantik itu tadi yang dari kuburannya tumbuh padi, kelapa, enau dan lain-lain.
  Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan Asli Sunda belum mempunyai formula yang tegas dan kemudian berubah-ubah sesuai dengan pengaruh yang memasukinya.

2     B. Kepercayaan Masyarakat Kampuang Pinang, Aceh Selatan
Penduduk Kampuang Pinang seperti halnya dengan masyarakat Aneuk Jamee lainnya adalah pemeluk agama islam. Sesungguhpun mereka pemeluk Agama Islam, tetapi tidak berarti bahwa tidak terdapat sisa-sisa kepercayaan lama yang masih melekat dalam kehidupan mereka. Hanya saja unsur-unsur kepercayan lama itu sudah berbaur sedemikian rupa dengan kepercayaan yang terdapat dalam agama Islam. Keadaan demikian dinyatakan dalam kepercayaan mereka kepada makhluk-makhluk halus, kekuatan alam, dan kepercayaan sakti.
Makluk halus yang dihayati oleh masyarakat Kampuang Pinang terdiri atas malaikat, ibilis, setan jin Islam, hantu, bujang Hitam, dan buruang tujuah. Dari kesemua makluk halus itu dapat dikelompokkan kepada 2 bagian, yaitu makhluk yang baik dan makhluk yang jahat. Makhluk yang baik terdiri atas malaikat dan jin Islam. Sedangkan makhluk yang jahat adalah kecuali yang dua tadi.
Makhluk halus, malaikat dan jin Islam dipercayai sebagai makluk senantiada berbakti dan beribadat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua makhluk itu tidak pernah mengganggu manusia dengan perbuatan-perbuatan yang jahat. Mereka mempercayai bahwa kedua makluk itu kerap kali menyamar sebagai orang alim bila bertemu dengan seseorang.
Makhluk halus yang jahat terdiri dari setan, iblis, hantu, bujang hitam dan burung tujuh dilukiskan dengan citra yang menakautkan. Mereka dianggap menganggu manusia dengan bermacam-macam kejahatan. Setan (syaitan) dipercayai sebagai makhluk jahat yang berkeliaran dan gentayangan di permukaan bumi. Mereka mendiami tempat-tempat yang angkir seperti di rawa-rawa, sungai, gunung, laut, dan tempat-tempat yang mengerikan. Pada setiap saat dan kesempatan ia melakukan kejahatan kepada manusia. Iblih (iblis) adalah kepada setan yang dulunya menanggap nabi Adam. Hantu adalah makhluk halus yang menyamar sebagai manusia yang menakutkan.  Di samping itu ada juga yang beranggapan ia berasal dari perwujudan ruh manusia jahat yang meninggal. Ia mendiami tempat-tempat tertentu seperti muara sungai dan rawa-rawa. Ia sering dipuja oleh orang-orang yang ingin mendiami ilmu hitam.
Buruang Tujuah adlaah makhluk halus yang dianggap sebagai penjelmaan dari roh tujuh orang putrid yang meninggal karena bersalin. Mereka dipercayai bahwa senantiasa bakal mengganggu seseorang perempuan (terutama yang baru melahirkan anak pertama) yang bakal melahirkan. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus di atas membawa efek tertentu kepada kepercayaan kepada kekuatan alam dan kekuatan sakti. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai kekuatan-kekuatan alam. Diantaranya dapat disebutkan kepercayaan pada hari atau waktu, pelangi, dan tempat-tempat tertentu.
Dalam hubungan dengan hari atau waktu, mereka mempunyai konsepsi-konsepsi tertentu. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai saat tengah hari adalah saat genting yang penuh bahaya ghaib. Oleh karena itu pada waktu demikian anak-anak tidak diperkenankan bermain atau mandi di kualo cangkua, pulau aje, dan di kualo punting. Tempat-tempat tersebut pada saat itu dipercayai terdapat makhluk-makhluk halus yaitu setan. Bila anak-anak tidak mematuhi maka mereka akan tasapo (mendapat gangguan yang menimbulkan sakit). Di samping waktu tengah hari juga waktu sedang caring manggalabuit (cacing sedang berbunyi yaitu senja kala) dianggap sebagai saat yang tidak baik berkeliaran di luar rumah. Karena itulah para pemuja ilmu hitam biasanya memuja bujang hitam pada waktu senja kala.
Disamping waktu krisis, mereka juga mempercayai bahwa ada saat yang baik untuk melakukan pekerjaan tertentu. Saat tersebut yaitu pada saat matahari sedang, naik dan atau pagi hari. Mereka mempercayai ada hubungan keadaan matahari yang sedang naik dengan perilaku dan suasana serta masa depan manusia.
Tempat-tempat yang mempunyai kekuatan ghaib dapat dikategorikan kepada 2 bagian. Pertama, tempat-tempat suci keagamaan yang dianggap sebagai rumah Tuhan. Kedua, tempat-tempat angker yang diduga berdiam makhluk-makhluk jahat yaitu setan, iblih, buruang tujuah dsbnya. Tempat-tempat yang pertama yaitu dalam bentuk bangunan keagamaan, yakni kualo cangkua. Pulau aie dan kualo puntuang. Karena tempat-tempat itu dihuni oleh makhluk halus, maka orang tidak berani datang ke tempat tersebut pada waktu genting di atas.
Masyarakat mempercayai bahwa ula mangeong (pelangi) juga berasal dari setan. Karena itu mereka melarang anak-anak menunjuk pelangi lantaran takut bakal cekok (bengkok) tangannya. Masyarakat kampuang Pinang juga mempercayai bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan sakti. Di antaranya dapat disebutkan benda-benda pusaka dan jumalang. Benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai kekuatan sakti yaitu dalam bentuk rencong, keris, atau pedang. Benda-benda yang demikian tidak boleh diperjual-belikan oleh pewarisnya maupun untuk dibawa-bawa, karena dipercayai orang yang melakukan pekerjaan terlarang itu akan hangek atau paneh (semacam kepanasan atau tidak tentram jiwanya). Jumalang yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda tertentu (terutama tungkal kayu) yang sudah lama terendam pada suatu tempat (umumnya rawa-rawa) telah didiami setan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh mendekati benda tersebut untuk menghindari kena jumalang.

3     C.  Kepercayaan Masyarakat Dayak Ngaju dan Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin
            Pada etnis Dayak Ngaju yang tinggal antara lain di wilayah Kabupaten Kapuas, Barito Selatan, dan Barito Utara di Provinsi Kalimantan Tengah. Etnis tersebut memeluk agama Kaharingan yang dianggap sebagai varian dari agama Hindu. Jika ditelisik secara cermat pengaruh Hindunya hanya tipis saja, terutama kepada penanaman tiga kekuatan Adikodrati yang mirip Trimurti. Dewa tertinggi yang sangat berkuasa Raja Sangiang yang dianggap sebagai perlambangan dewa Wisnu, tokoh dewa lainnya tidak berkaitan dengan Hindunisme, yaitu Raja Sangen, ia dianggap sebagai dewa yang tidak terlalu berperanan lagi, dan Raja Bunu yang dianggap sebagai nenek moyang orang Dayak.
            Etnis Dayak Ngaju mengenal upacara Tiwah yaitu upacara pembakaran tulang belulang orang yang telah meninggal. Setelah orang meninggal mayatnya terlebih dahulu dikubur dalam peti kayu yang berbentuk lesung dinamakan raung. Setelah beberapa tahun kemudian, ketika jenazah tinggal tulang belulang kemudian dikumpulkan dan dibakar, abunya disimpan di dalam bangunan kayu bertiang tinggi yang disebut Sandung ( Melalatoa, 1995:628). Sandang dapat dibentuk dengan hiasan yang rumit dan indah, tiang-tiang kayunya digambarkan dalam bentuk patung dengan sikap statis seperti orang yang telah meninggal. Dapat saja dalam suatu sandung ditempatkan abu dari beberapa orang yang telah meninggal, namun masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Upacara tiwah pada dasarnya memerlukan dana yang mahal, oleh karena itu sering kali dilaksanakan secara besar-besaran dengan sokongan sejumlah keluarga luas.
            Masyarakat Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin, yang termasuk dalam rumpun Dayak Tamam, di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mempercayai bahwa Alaatala merupakan roh kekal, yang dengan kuasanya menciptakan langit, bumi beserta isinya. Dengan kuasanya Alaatala pula menciptakan Sampulo, yang selanjutnya diberi tugas untuk membuat manusia sesuai dengan rupa pribadi Sampulo. Dalam bahasa sastra setempat disebut pula dengan istilah sampulo padari, di mana sampulo berarti Tuhan dan padari yang berarti ‘menjadikan’. Konsep sampulo padari tersebut mengandung makna Tuhan menjadikan/menciptakan segala yang ada dibumi, termasuk penciptaan manusia.
            Etnis dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin mempercayai adanya kehidupan lain setelah manusia meninggal. Roh orang yang telah meninggal akan menempati alam roh, namun roh orang meninggal tersebut tetap berada di sekitar kehidupan keluarga atau kerabat yang masih hidup. Roh tersebut dapat dipanggil sewaktu-waktu, misalnya dalam upacara bamanang. Roh orang yang meninggal akan datang bila dipanggil oleh manang/balian dan dapat dimintakan bantuannya dalam proses penyembuhan. Seorang pemimpin adat masyarakat setempat, yang bergelar Tumenggung, dengan tegas menyatakan bahwa kepercayaan tradisional etnis Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin berbeda dengan kepercayaan Kaharingan. Salah satu hal yang membedakan kepercayaan setempat, yang disbutnya sebagai ajaranleluhur, dengan Kaharingan terlihat dalam upacara kematian. Dalam ajaran Kaharingan, jenazah orang yang meninggal akan dibakar dan abunya disimpan dalam sebuah bangunan yang didirikan di muka rumah. Dalam ajaran leluhur Sungulo’ Apalin, jenazah tidak dibakar namun dibiarkan tetap berada dalam Lungun (peti matinya) (Anggraini, 2000: 53). Disertai bekal kubur erupa perhiasan (kalung manic-manik), pakaian terbaik dan piring.
            Dalam ritual upacara kematian orang Dayak Tamambaloh Apalin, kedukaan bukan hanya milik kerabat dairi orang yang meninggal, tetapi juga milik semua penghuni betang (rumah tradisional berbentuk rumah panjang. Bentuk kedukaan tersebut ditunjukkan dengan adanya penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dan kerabatnya, berupa ketaatan terhadap sejumlah larangan atau pantangan. Pantangan dalam masa berkabung antara lain mencakup: (a) larangan memakai baju berwarna mencolok, (b) larangan memakai perhiasan emas atau perak (jenis barang yang dilarang dipakai tergantung kebiasaan orang yang meninggal), (c) larangan berkumpul dan membuat keramaian, dan (d) larangan bertepuk tangan. Larangan tersebut berlaku untuk kurun waktu tertentu, lamanya tergantung dari waktu yang ditetapkan oleh keluarga yang berduka; biasanya berkisar antara dua hingga empat minggu. Sanksi yang diterapkan bila pantangan tersebut dilanggar lebih berupa sanksi moral dan sanksi social. Masa berkabung bagi keluarga dan seluruh anggota betang diakhiri dengan ritual buang pantang. Dalam ritual buang pantang, pihak keluarga yang berduka menghias perahunya dengan berbagai hiasan dan selanjutnya menggunakan perahu tersebut untuk berziarah ke makam (kulambu) anggota keluarga yang baru dikuburkan. Ketika perahu yang mengangkut anggota keluarga yang telah selesai berziarah tiba di kampong, anggota betang menyambutnya dan menceburkan diri ke sungai. Membasuh tubuh dengan air sungai dilakukan sebagai perlambang bahwa anggota betang telah bebas dari segala larangan/pantangan, bebas dari masa berkabung.
            Kematian bagi masyarakat Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin juga dipandang sebagai krisis terakhir dalam kehidupan individu dan untuk seluruh komunitas betang. Kepergian seseorang ke alam roh dianggap dapat mengganggu keseimbangan betang dan oleh karena itu anggota Betang yang masih hidup harus mengembalikan keseimbangan tersebut dengan melakukan ritual pantang dan buang pantang. Pada waktu yang bersamaan komunitas betang juga harus mengadakan penyesuaian diri dengan hilangya seseorang yang mempunyai ikatan emosional dengan mereka.


4    D.   Kepercayaan Masyarakat Jawa
            Lapisan dasar budaya Jawa yang dalam dan meresap sering disebut kejawen, di terjemahkan sebagai kejawaan atau Jawanisme. Akhiran “isme” amat menguntungkan, karena menyirat pengertian bahwa kejawen adalah suatu ajaran dan praktek. Sebagai falsafah hidup, kejawen cukup luas cakupannya, termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, mitologi, metafisika, dan antropologi. Semua segi ini membentuk satu pandangan hidup orang Jawa yang, sebagai sebuah sistem pemikiran tentang hubungan social, meresap ke dalam etika dan akal sehat yang mengatur hidup orang.
            Secara teologis, Jawanisme mengenal Prinsip Ilahi (ketuhanan) lebih daripada Allah yang ‘mempribadi’ atau transenden. Esensi ini yang sering diacu sebagai Hidup (Urip) meliputi dan meresapi segala yang ada. Esensi ini adalah awal dan tujuan segala sesuatu yang ada. Secara kosmologis, semuanya berhubungan, tidak dalam cara yang sembarangan, tetapi sebagai keseluruhan yang teratur mengikuti cara yang telah ditetapkan sebelumnya. Cara pertama dikenal sebagai ukum pinesthi atau kodrat alam, yaitu prinsip keniscayaan. Buah penetapan sebelumnya ini, kebenaran, diterjemahkan sebagai kebenaran, perwujudan, dan kebetulan. Kosmologi ini sering diilustrasikan dengan mitologi wayang purwa yang mengandung pengembangan Jawa terhadap Mahabrata, dengan Bhagavad Gita sebagai intinya.
            Pandangan antropologisnya melihat manusia sebagai bagian dari itu semua, tetapi dalam cara yang khas. Pertama-tama, dia dapat memilih, dia mempunyai kehendak, dan pilihan-pilihannya dapat saja tak berpendidikan (bodoh, emosional, immoral) atau terpelajar (bijaksana, rasional, moral). Kedua, manusia dipandang terdiri dari dua bagian, lair sebagai yang tampak, dan hidup dalam batin. Ritus pokok untuk mempertahankan, menjaga, atau mengusahakan tatanan adalah slametan, suatu acara makan bersama bersuasana religious-sosial di mana tetangga bersama beberapa kerabat serta teman turut mengambil bagian. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan situasi slamat. Falsafah hidup kejawen membangkitkan perilaku keagamaan, mistisme, dan pemusatan diri, sekaligus mengabaikan harapan akan hidup setelah hidup ini, tak berminat pada agama yang dilembagakan, dan pemenuhan kewajiban-kewajiban keagamaan dari agama institusional. Tidak ada garis pemisah antara secular dan yang sacral dalam pemikiran kejawen.



DAFTAR PUSTAKA

·         Syamsuddin, T, dkk. 1981. Upacara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Pancacita.
·         Surjadi, A. 1974. Masyarakat Sunda Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.
·         Munandar, Agus Aris, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
·         Widiatoko, Satrio. 1997. Agama, hidup sehari-hari, dan perubahan budaya Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar