RESUMAN
“ TIGA
KEPERCAYAAN YANG ADA DI INDONESIA”
1 A. Kepercayaan
Masyarakat Sunda
Sulit untuk mengidentifikasikan kepercayaan
asli Sunda. Jika dicoba mentrasir kepercayaan orang baduy (luar), tampak sekali
adanya pengaruh agama Hindu dan sedikit pengaruh Islam. Pengaruh Islam ini
dapat dilihat dari dikenalkannya istilah-istilah, Allah dll. Bahkan dalam
pantun-pantun buhun (kuno) Bogor, istilah-istilah dari bahasa Arab sudah mauk.
Kepercayaan akan adanya Hyang Tunggal menunjukkan persamaan dengan Hindu Bali.
Sedangkan dalam beberapa legenda kepercayaan akan Hyang Tunggal tsb, tidak
disebut-sebut. Dari beberapa legenda dapatlah diketahui, bahwa Sunan Ambu
(Wanita) di Kahyangan menurun kan keturunan ke dunia, yang kemudian mendirikan
sebuah kerajaan yang dirajai oleh Prabu Siliwangi. Cucunya di dunia bisa
memasuki Kahyangan dan bertemu dengannya untuk memberi petunjuk kepada cucunya
itu, asal saja ia mempunyai keistimewaan atau memenuhi syarat. Hal ini
ditemukan dalam legenda Mundinglayadikusumah.
Suatu hal yang menarik adalah dalam
garis keturunan tersbut tidak di sebut-sebut tentang pria, sekalipun raja di
dunia adalah Prabu Siliwangi yang umum berpendapat dia adalah laki-laki. Ketika
Mundinglaya akan memasuki Kahyangan, Sunan Ambu telah mengetahuinya dan bahkan
disebutnya bahwa Mundinglaya itu adalah keturunannya, yaitu cucunya Nyi
Nagawiru dan anaknya Nyi Padmawati.
Dalam legenda lain yaitu Lutung
Kasarung, dikisahkan betapa Sunan Ambu bisa mengirimkan cucu pria yang bernama
guru Minda ke dunia jatuh cinta kepadanya, akhirnya mendapat jodohnya yatu
putrid bungsu dari ketujuh putrid Prabu Siliwangi. Tidak disebutkan siapa ayah
guru Minda dan bagaimana peranan laki-laki di Kahyangan.
Dalam dua legenda tersebut tidak
disebut-sebut tentang Hyang Tunggal, atau Siwa, Brahma, Wisnu ataupun Dewa-dewa
Hindu lainnya; dan juga tidak disebut-sebut tentang Batara Guru. Kabayan Dewa
(Narada), Bayu, Indra dan Lain-lain dewa pewayangan. Dalam legenda yang
mengisahkan tentang terjadinya padi, kelapa, enau dan lain-lain tanaman dari
atas kuburan seorang putrid cantik, barulah berperan Bahtara Guru, Narada
(Kabayan Dewa) dan Dewa Antaboga, Dewa Naradalah yang membawa tanaman-tanaman tersebut
kepada Prabu Siliwangi untuk ditanam dan dimakan. Sebelumnya orang memakan
umbi-umbian. Hal yang menarik ialah justru telah dikenalnya penguburan mayat
dalam cerita ini, yaitu putri cantik itu tadi yang dari kuburannya tumbuh padi,
kelapa, enau dan lain-lain.
Berdasarkan uraian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan Asli Sunda belum mempunyai
formula yang tegas dan kemudian berubah-ubah sesuai dengan pengaruh yang
memasukinya.
2 B. Kepercayaan
Masyarakat Kampuang Pinang, Aceh Selatan
Penduduk Kampuang Pinang seperti halnya dengan masyarakat
Aneuk Jamee lainnya adalah pemeluk agama islam. Sesungguhpun mereka pemeluk
Agama Islam, tetapi tidak berarti bahwa tidak terdapat sisa-sisa kepercayaan
lama yang masih melekat dalam kehidupan mereka. Hanya saja unsur-unsur kepercayan
lama itu sudah berbaur sedemikian rupa dengan kepercayaan yang terdapat dalam
agama Islam. Keadaan demikian dinyatakan dalam kepercayaan mereka kepada
makhluk-makhluk halus, kekuatan alam, dan kepercayaan sakti.
Makluk halus yang dihayati oleh masyarakat Kampuang
Pinang terdiri atas malaikat, ibilis, setan jin Islam, hantu, bujang Hitam, dan
buruang tujuah. Dari kesemua makluk halus itu dapat dikelompokkan kepada 2
bagian, yaitu makhluk yang baik dan makhluk yang jahat. Makhluk yang baik
terdiri atas malaikat dan jin Islam. Sedangkan makhluk yang jahat adalah
kecuali yang dua tadi.
Makhluk halus, malaikat dan jin Islam dipercayai sebagai
makluk senantiada berbakti dan beribadat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua
makhluk itu tidak pernah mengganggu manusia dengan perbuatan-perbuatan yang
jahat. Mereka mempercayai bahwa kedua makluk itu kerap kali menyamar sebagai
orang alim bila bertemu dengan seseorang.
Makhluk halus yang jahat terdiri dari setan, iblis,
hantu, bujang hitam dan burung tujuh dilukiskan dengan citra yang menakautkan.
Mereka dianggap menganggu manusia dengan bermacam-macam kejahatan. Setan
(syaitan) dipercayai sebagai makhluk jahat yang berkeliaran dan gentayangan di
permukaan bumi. Mereka mendiami tempat-tempat yang angkir seperti di rawa-rawa,
sungai, gunung, laut, dan tempat-tempat yang mengerikan. Pada setiap saat dan
kesempatan ia melakukan kejahatan kepada manusia. Iblih (iblis) adalah kepada
setan yang dulunya menanggap nabi Adam. Hantu adalah makhluk halus yang menyamar
sebagai manusia yang menakutkan. Di
samping itu ada juga yang beranggapan ia berasal dari perwujudan ruh manusia
jahat yang meninggal. Ia mendiami tempat-tempat tertentu seperti muara sungai
dan rawa-rawa. Ia sering dipuja oleh orang-orang yang ingin mendiami ilmu
hitam.
Buruang Tujuah adlaah makhluk halus yang dianggap sebagai
penjelmaan dari roh tujuh orang putrid yang meninggal karena bersalin. Mereka
dipercayai bahwa senantiasa bakal mengganggu seseorang perempuan (terutama yang
baru melahirkan anak pertama) yang bakal melahirkan. Kepercayaan terhadap
makhluk-makhluk halus di atas membawa efek tertentu kepada kepercayaan kepada
kekuatan alam dan kekuatan sakti. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai
kekuatan-kekuatan alam. Diantaranya dapat disebutkan kepercayaan pada hari atau
waktu, pelangi, dan tempat-tempat tertentu.
Dalam hubungan dengan hari atau waktu, mereka mempunyai
konsepsi-konsepsi tertentu. Masyarakat kampuang Pinang mempercayai saat tengah
hari adalah saat genting yang penuh bahaya ghaib. Oleh karena itu pada waktu
demikian anak-anak tidak diperkenankan bermain atau mandi di kualo cangkua, pulau aje, dan di kualo punting. Tempat-tempat tersebut
pada saat itu dipercayai terdapat makhluk-makhluk halus yaitu setan. Bila
anak-anak tidak mematuhi maka mereka akan tasapo
(mendapat gangguan yang menimbulkan sakit). Di samping waktu tengah hari
juga waktu sedang caring manggalabuit (cacing
sedang berbunyi yaitu senja kala) dianggap sebagai saat yang tidak baik
berkeliaran di luar rumah. Karena itulah para pemuja ilmu hitam biasanya memuja
bujang hitam pada waktu senja kala.
Disamping waktu krisis, mereka juga mempercayai bahwa ada
saat yang baik untuk melakukan pekerjaan tertentu. Saat tersebut yaitu pada
saat matahari sedang, naik dan atau pagi hari. Mereka mempercayai ada hubungan
keadaan matahari yang sedang naik dengan perilaku dan suasana serta masa depan
manusia.
Tempat-tempat yang mempunyai kekuatan ghaib dapat
dikategorikan kepada 2 bagian. Pertama, tempat-tempat suci keagamaan yang dianggap
sebagai rumah Tuhan. Kedua, tempat-tempat angker yang diduga berdiam
makhluk-makhluk jahat yaitu setan, iblih, buruang tujuah dsbnya. Tempat-tempat
yang pertama yaitu dalam bentuk bangunan keagamaan, yakni kualo cangkua. Pulau
aie dan kualo puntuang. Karena tempat-tempat itu dihuni oleh makhluk halus,
maka orang tidak berani datang ke tempat tersebut pada waktu genting di atas.
Masyarakat mempercayai bahwa ula mangeong (pelangi) juga
berasal dari setan. Karena itu mereka melarang anak-anak menunjuk pelangi
lantaran takut bakal cekok (bengkok) tangannya. Masyarakat kampuang Pinang juga
mempercayai bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan sakti. Di
antaranya dapat disebutkan benda-benda pusaka dan jumalang. Benda-benda pusaka
yang dianggap mempunyai kekuatan sakti yaitu dalam bentuk rencong, keris, atau
pedang. Benda-benda yang demikian tidak boleh diperjual-belikan oleh pewarisnya
maupun untuk dibawa-bawa, karena dipercayai orang yang melakukan pekerjaan
terlarang itu akan hangek atau paneh (semacam kepanasan atau tidak tentram
jiwanya). Jumalang yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda tertentu (terutama
tungkal kayu) yang sudah lama terendam pada suatu tempat (umumnya rawa-rawa)
telah didiami setan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh mendekati benda
tersebut untuk menghindari kena jumalang.
3 C. Kepercayaan
Masyarakat Dayak Ngaju dan Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin
Pada
etnis Dayak Ngaju yang tinggal antara lain di wilayah Kabupaten Kapuas, Barito
Selatan, dan Barito Utara di Provinsi Kalimantan Tengah. Etnis tersebut memeluk
agama Kaharingan yang dianggap sebagai varian dari agama Hindu. Jika ditelisik
secara cermat pengaruh Hindunya hanya tipis saja, terutama kepada penanaman
tiga kekuatan Adikodrati yang mirip Trimurti. Dewa tertinggi yang sangat
berkuasa Raja Sangiang yang dianggap
sebagai perlambangan dewa Wisnu, tokoh dewa lainnya tidak berkaitan dengan
Hindunisme, yaitu Raja Sangen, ia dianggap sebagai dewa yang tidak terlalu
berperanan lagi, dan Raja Bunu yang dianggap sebagai nenek moyang orang Dayak.
Etnis
Dayak Ngaju mengenal upacara Tiwah yaitu upacara pembakaran tulang belulang
orang yang telah meninggal. Setelah orang meninggal mayatnya terlebih dahulu
dikubur dalam peti kayu yang berbentuk lesung dinamakan raung. Setelah beberapa tahun kemudian, ketika jenazah tinggal
tulang belulang kemudian dikumpulkan dan dibakar, abunya disimpan di dalam
bangunan kayu bertiang tinggi yang disebut Sandung ( Melalatoa, 1995:628). Sandang dapat dibentuk dengan hiasan
yang rumit dan indah, tiang-tiang kayunya digambarkan dalam bentuk patung
dengan sikap statis seperti orang yang telah meninggal. Dapat saja dalam suatu
sandung ditempatkan abu dari beberapa orang yang telah meninggal, namun masih
mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Upacara tiwah pada dasarnya memerlukan dana yang mahal, oleh karena itu
sering kali dilaksanakan secara besar-besaran dengan sokongan sejumlah keluarga
luas.
Masyarakat
Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin, yang termasuk dalam rumpun Dayak Tamam, di
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mempercayai bahwa Alaatala merupakan roh
kekal, yang dengan kuasanya menciptakan langit, bumi beserta isinya. Dengan
kuasanya Alaatala pula menciptakan Sampulo, yang selanjutnya diberi
tugas untuk membuat manusia sesuai dengan rupa pribadi Sampulo. Dalam bahasa
sastra setempat disebut pula dengan istilah sampulo padari, di mana sampulo
berarti Tuhan dan padari yang berarti ‘menjadikan’. Konsep sampulo padari tersebut
mengandung makna Tuhan menjadikan/menciptakan segala yang ada dibumi, termasuk
penciptaan manusia.
Etnis dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin
mempercayai adanya kehidupan lain setelah manusia meninggal. Roh orang yang
telah meninggal akan menempati alam roh, namun roh orang meninggal tersebut
tetap berada di sekitar kehidupan keluarga atau kerabat yang masih hidup. Roh
tersebut dapat dipanggil sewaktu-waktu, misalnya dalam upacara bamanang. Roh orang yang meninggal akan
datang bila dipanggil oleh manang/balian dan dapat dimintakan bantuannya dalam
proses penyembuhan. Seorang pemimpin adat masyarakat setempat, yang bergelar Tumenggung, dengan tegas menyatakan
bahwa kepercayaan tradisional etnis Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin berbeda dengan
kepercayaan Kaharingan. Salah satu hal yang membedakan kepercayaan setempat,
yang disbutnya sebagai ajaranleluhur, dengan Kaharingan terlihat dalam upacara kematian. Dalam ajaran
Kaharingan, jenazah orang yang meninggal akan dibakar dan abunya disimpan dalam
sebuah bangunan yang didirikan di muka rumah. Dalam ajaran leluhur Sungulo’
Apalin, jenazah tidak dibakar namun dibiarkan tetap berada dalam Lungun (peti matinya) (Anggraini, 2000:
53). Disertai bekal kubur erupa perhiasan (kalung manic-manik), pakaian terbaik
dan piring.
Dalam
ritual upacara kematian orang Dayak Tamambaloh Apalin, kedukaan bukan hanya
milik kerabat dairi orang yang meninggal, tetapi juga milik semua penghuni betang (rumah tradisional berbentuk
rumah panjang. Bentuk kedukaan tersebut ditunjukkan dengan adanya penghormatan
terhadap orang yang telah meninggal dan kerabatnya, berupa ketaatan terhadap
sejumlah larangan atau pantangan. Pantangan dalam masa berkabung antara lain
mencakup: (a) larangan memakai baju berwarna mencolok, (b) larangan memakai
perhiasan emas atau perak (jenis barang yang dilarang dipakai tergantung
kebiasaan orang yang meninggal), (c) larangan berkumpul dan membuat keramaian,
dan (d) larangan bertepuk tangan. Larangan tersebut berlaku untuk kurun waktu
tertentu, lamanya tergantung dari waktu yang ditetapkan oleh keluarga yang
berduka; biasanya berkisar antara dua hingga empat minggu. Sanksi yang
diterapkan bila pantangan tersebut dilanggar lebih berupa sanksi moral dan
sanksi social. Masa berkabung bagi keluarga dan seluruh anggota betang diakhiri dengan ritual buang pantang. Dalam ritual buang
pantang, pihak keluarga yang berduka menghias perahunya dengan berbagai
hiasan dan selanjutnya menggunakan perahu tersebut untuk berziarah ke makam
(kulambu) anggota keluarga yang baru dikuburkan. Ketika perahu yang mengangkut
anggota keluarga yang telah selesai berziarah tiba di kampong, anggota betang menyambutnya dan menceburkan diri
ke sungai. Membasuh tubuh dengan air sungai dilakukan sebagai perlambang bahwa
anggota betang telah bebas dari segala larangan/pantangan, bebas dari masa
berkabung.
Kematian bagi masyarakat Dayak
Tamambaloh Sungulo’ Apalin juga dipandang sebagai krisis terakhir dalam
kehidupan individu dan untuk seluruh komunitas betang. Kepergian seseorang ke alam roh dianggap dapat mengganggu
keseimbangan betang dan oleh karena
itu anggota Betang yang masih hidup
harus mengembalikan keseimbangan tersebut dengan melakukan ritual pantang dan buang pantang. Pada waktu yang bersamaan komunitas betang juga harus mengadakan penyesuaian
diri dengan hilangya seseorang yang mempunyai ikatan emosional dengan mereka.
4 D. Kepercayaan Masyarakat Jawa
Lapisan dasar budaya Jawa yang dalam dan meresap sering disebut kejawen, di terjemahkan sebagai kejawaan
atau Jawanisme. Akhiran “isme” amat menguntungkan, karena menyirat pengertian
bahwa kejawen adalah suatu ajaran dan
praktek. Sebagai falsafah hidup, kejawen
cukup luas cakupannya, termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, mitologi,
metafisika, dan antropologi. Semua segi ini membentuk satu pandangan hidup
orang Jawa yang, sebagai sebuah sistem pemikiran tentang hubungan social,
meresap ke dalam etika dan akal sehat yang mengatur hidup orang.
Secara teologis, Jawanisme mengenal Prinsip Ilahi (ketuhanan) lebih daripada
Allah yang ‘mempribadi’ atau transenden. Esensi ini yang sering diacu sebagai
Hidup (Urip) meliputi dan meresapi segala yang ada. Esensi ini adalah awal dan
tujuan segala sesuatu yang ada. Secara kosmologis, semuanya berhubungan, tidak
dalam cara yang sembarangan, tetapi sebagai keseluruhan yang teratur mengikuti
cara yang telah ditetapkan sebelumnya. Cara pertama dikenal sebagai ukum pinesthi atau kodrat alam, yaitu prinsip keniscayaan. Buah penetapan sebelumnya
ini, kebenaran, diterjemahkan sebagai
kebenaran, perwujudan, dan kebetulan. Kosmologi ini sering diilustrasikan
dengan mitologi wayang purwa yang
mengandung pengembangan Jawa terhadap Mahabrata, dengan Bhagavad Gita sebagai
intinya.
Pandangan antropologisnya melihat
manusia sebagai bagian dari itu semua, tetapi dalam cara yang khas.
Pertama-tama, dia dapat memilih, dia mempunyai kehendak, dan pilihan-pilihannya
dapat saja tak berpendidikan (bodoh, emosional, immoral) atau terpelajar
(bijaksana, rasional, moral). Kedua, manusia dipandang terdiri dari dua bagian,
lair sebagai yang tampak, dan hidup
dalam batin. Ritus pokok untuk mempertahankan, menjaga, atau mengusahakan
tatanan adalah slametan, suatu acara
makan bersama bersuasana religious-sosial di mana tetangga bersama beberapa
kerabat serta teman turut mengambil bagian. Tujuan mereka adalah untuk
mendapatkan situasi slamat. Falsafah
hidup kejawen membangkitkan perilaku
keagamaan, mistisme, dan pemusatan diri, sekaligus mengabaikan harapan akan
hidup setelah hidup ini, tak berminat pada agama yang dilembagakan, dan
pemenuhan kewajiban-kewajiban keagamaan dari agama institusional. Tidak ada
garis pemisah antara secular dan yang sacral dalam pemikiran kejawen.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Syamsuddin, T, dkk. 1981. Upacara Tradisional
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Pancacita.
·
Surjadi, A. 1974. Masyarakat Sunda Budaya dan
Problema. Bandung: Alumni.
·
Munandar, Agus Aris, dkk. 2009. Sejarah
Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
·
Widiatoko, Satrio. 1997. Agama, hidup
sehari-hari, dan perubahan budaya Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar