A.R

A.R
The Win

Minggu, 11 Mei 2014

" Tugas Pendidikan Kewarganegaraan "


TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB 2  KONSTITUSI NEGARA
          Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “Constituere” yang berarti menetapkan atau membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan sebagai pembentukan atau penyusunan suatu negara. Adapula konstitusi di Amerika Serikat menggunakan kata “Constitution” atau dari Belanda menggunakan kata “Constitutie”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah Undang-Undang Dasar, dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (ground = dasar, wet = undang-undang) yang kedua-duanya menunjukkan naskah tertulis. Namun pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai arti:
1.      Lebih luas daripada Undang-Undang Dasar, atau
2.      Sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar.
            Dalam praktek ketatanegaraan negara Republik Indonesia pengertian  konstitusi sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25.26).

 LATIHAN
1. Jelaskan hubungan antara peristiwa proklamasi dengan UUD 1945!
Jawaban :
.           UUD 1945 sering disebut “UUD Proklamasi” dikatakan demikian karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.  Sebagaimana telah disebutkan dalam ketetapan MPRS/MPR, bahwa UUD 1945  merupakan satu kesatuan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak dapat dipisahkan dengan UUD 1945 terutama pembukaan UUD 1945 Kebersatuan antara Proklamasi dengan pembukaan UUD 1945 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
      I.            Disebutkannya kembali pernyataan Proklamasi Kemerdekaan dalam alinea ketiga Pembukaan menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
    II.            Ditetapkannya pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan  ditetapkannya UUD, Presiden dan Wakil Presiden merupakan realisasi tindak lanjut dari Proklamasi.
 III.           Pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya adalah merupakan suatu pernyataan kemerdekaan yang lebih terinci dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkannya kemerdekaan, dalam bentuk Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan berdasarkan asas kerrokhanian Proklamasi.
Berdasarkan sifat kesatuan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka sifat hubungan antara Pembukaan dengan Proklamasi adalah sebagai berikut:                         
Pertama, memberikan penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu menegakkan hak kodrat dan hak moral dari setiap bangsa akan kemerdekaan, dan demi inilah maka Bangsa Indonesia berjuang terus menerus sampai bangsa Indonesia mencapai pintu gerbang kemerdekaan (Bagian pertama dan kedua Pembukaan).                                 
Kedua, memberikan penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu bahwa perjuangan gigih bangsa Indonesia dalam menegakkan hak kodrati dan hak moral itu adalah sebagai gugatan di hadapan bangsa-bangsa di dunia terhadap adanya penjajahan atas bangsa Indonesia, yang tidak sesuai dengam perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa perjuangan bangsa Indonesia itu telah diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemudian bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya (Bagian ketiga Pembukaan).              
Ketiga, memberikan pertanggungjawaban terhadap dilaksanakan Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan luhur, disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Bagian keempat Pembukaan UUD 1945). Penyusunan UUD itu untuk  dasar-dasar pembentukan pemerintahan negara Indonesia dalam melaksanakan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (tujuan ke dalam). Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial (tujuan ke luar atau tujuan internasional).                        Proklamasi pada hakikatnya bukanlah merupakan tujuan, melainkan prasyarat untuk tercapainya tujuan bangsa dan negara, maka proklamasi memiliki dua macam makna sebagai berikut.
1)      Pernyataan bangsa Indonesia baik kepada diri sendiri, maupun kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.
2)   Tindakan-tindakan yang segera harus dilaksanakan berhubungan dengan pernyataan kemerdekaan tersebut.
            Seluruh makna proklamasi tersebut dirinci dan mendapat pertanggung-jawaban dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut.
1)      Bagian pertama Proklamasi, mendapatkan penegasan dan penjelasan pada bagian pertama sampai dengan ketiga Pembukaan UUD 1945.
2)    Bagian kedua Proklamasi, yaitu suatu pembentukan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Adapun prinsip-prinsip negara yang terkandung dalam Pembukaan tersebut meliputi empat hal, pertama: tujuan negara yang akan dilaksanakan oleh pemerintah negara, kedua: ketentuan diadakannya UUD negara, sebagai landasan konstitusional pembentukan pemerintahan negara, ketiga: bentuk negara Republik yang berkedaulatan rakyat, dan keempat: asas kerokhanian atau dasar filsafat negara Pancasila.
            Berpegang pada sifat hubungan antara proklamasi 17 Agustus dengan Pembukaan UUD 1945 yang tidak hanya menjelaskan dan menegaskan akan tetapi juga mempertanggungjawabkan Proklamasi, maka hubungan itu tidak hanya bersifat korelatif, melainkan juga bersifat kausal organis. Hal ini menunjukkan antara Proklamasi dengan UUD 1945 terutama Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kesatuan yang utuh, dan apa yang terkandung dalam pembukaan adalah merupakan amanat dari seluruh Rakyat Indonesia tatkala mendirikan negara dan untuk mewujudkan tujuan bersama. Oleh karena itu merupakan suatu tanggung jawab moral bagi seluruh bangsa untuk memelihara dan merealisasikannya (Darmodihardjo, 1979 : 232,233). Dengan demikian jika kita mencermati hubungan antara Proklamasi Kemerdekaan dengan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan  hubungan  suatu  kesatuan  bulat,  serta hubungan  antara  Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 yang merupakan hubungan langsung, maka dapat disimpulkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan mempunyai hubungan yang  erat, tidak  dapat  dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila. Proklamasi Kemerdekaan, dan UUD 1945 adalah satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu generasi muda yang harus mengisi kemerdekaan semestinya pada jiwanya tertanam kuat semangat untuk mempertahankan, mengamankan, dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan Negara Republik Indonesia.

2. Sebutkan dan jelaskan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia!
Jawaban :
            Dalam sejarah ketatanegaraan indonesia, konstitusi atau undang-undang dasar 1945 yang diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak diproklamasikannya kemerdekaan negara indonesia, yakni dengan rincian sebagai berikut:

a.         Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

            Undang-Undang Dasar 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian karena kemunculan bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaaan RI, 17 Agustus 1945. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pergaulatan pemikiran dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam persidangan-persidangan BPUPKI dan PPKI.
            UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar. Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa. Waktu yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar itu Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang karenanya harus dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
            Sifat kesementaraan yang melekat pada UUD 1945 tidaklah membuat berpikir simplisitik untuk memandang UUD 1945 tidak penting apalagi menganggapnya tidak sah. Dalam pertarungannya dengan waktu, BPUPKI dan PPKI telah berjuang semaksimal mungkin, dan karenanya apa yang diungkapkan oleh Soekarno tersebut dapat diterima secara rasional, meskipun janjinya untuk melakukan kajian yang lebih sempurna atas UUD 1945 tetap tidak terpenuhi sampai akhir masa kepemimpinannya.
            Bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan dikeluarkan oleh penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, yang terdapat penyebutannya dalam Undang-Undang Dasar, ialah sama dengan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan pada masa sekarang yang terdapat penyebutannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
1  Undang-Undang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, berdasar  pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dibuat oleh Presiden sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak, dibuat berdasar pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
3  Peraturan Pemerintah, dibuat oleh Presiden sendiri untuk melaksanakan Undang-Undang berdasar pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
    
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)

            UUD RIS sering disebut dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) tahun 1949. Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, namun tidaklah berarti kondisi sosial-politik Indonesia semakin kondusif. UUD RIS 1949 yang disusun di bawah bayang-bayang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949. KMB menghasilkan tiga hal mendasar, yaitu: pertama: Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat; kedua: penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan Ketiga: pembentukan UNI-RIS-Belanda. Menurut Adnan Buyung Nasution, menjadi Konstitusi RIS dan berlaku sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia di Belanda. Karena itu, secara formal, dengan UUD RIS ini perjuangan kemerdekaan nasional dan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat telah tercapai. Meskipun, secara substansial politik RIS merupakan kemenangan bagi perjuangan nasional Indonesia, namun menurut Herberth Feith, secara hukum Belanda berhasil mamaksakan kehendaknya yang mengakibatkan kekacauan administrasi pemerintahan yang luar biasa. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi Ratu Juliana di hadapan ketiga delegasi menandatangi Akta Penyerahan Kedaulatan, yang kemudian berakibat pada berlakunya dua hal, yakni pertama, semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan kedua, Konstitusi RIS 1949.
            Dengan berdirinya RIS dan berlakunya Konstitusi RIS, maka Negara Republik Indonesia hanya berstatus sebagai salah satu daripada “Negara Bagian” saja di dalam Negara Republik Indonesia Serikat, sebagai halnya negara-negara bagian lainnya. Adapun kekuasaan wilayahnya adalah daerah yang disebut di dalam persetujuan Renville. Begitu juga dengan kedudukan UUD 1945, dengan sendirinya juga berstatus sebagai UUD Negara Nagian Republik Indonesia. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Meskipun demikian, Konstitusi RIS hanyalah dimaksudkan untuk bersifat “sementara”. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
            Bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang dapat dikeluarkan oleh penguasa pada masa berlakunya Konstitusi RIS yang terdapat penyebutannya di dalam Konstitusi ialah:
1.    Undang-undang Federal ialah bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Negara Federal, harap dibedakan dengan Undang-undang Negara Bagian yang dikeluarkan oleh masing-masing Negara Bagian.
Lain dari pada itu menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat dikenal adanya dua jenis Undang-undang Federal yaitu : 
 I.          Undang-undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah Federal bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Federal dan Senat Federal, yaitu peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah-bagian atau bagian-bagiannya ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal-pasal Konstitusi RIS; Undang-undang Federal jenis ini dibuat berdasar pada pasal 127 a Konstitusi RIS. 
 II.              Undang-undang Federal jenis yang kedua yaitu Undang-undang Federal yang dibuat Pemerintah Federal dan Dewan Perwakilan Rakyat Federal tanpa Senat Federal. Undang-undang Federal jenis ini ialah dalam hal-hal apabila mengenai persoalan-persoalan yang selebihnya, yang tidak mengenai hal-hal yang dimaksud di atas dalam pasal 127 a; jenis ini dibuat berdasar pasal 127b Konstitusi RIS.
2.      Undang-undang Darurat Federal dibuat oleh Pemerintah Federal sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak, berdasar pasal 139 Konstitusi RIS.
3.     Peraturan Pemerintah Federal dibuat oleh Pemerintah sendiri untuk melaksanakan lebih lanjut Undang-undang Federal, berdasar pasal 141 Konstitusi RIS.
    
c.         Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

            UUDS 1950 adalah bukti historis kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan. Hal tersebut, tentunya tidaklah muncul dengan sendirinya. Keinginan terbesar rakyat Indonesia merupakan “kata kunci” lahirnya negara Republik Indonesia. UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan 43 pasal. Bentuk negara federal, di mana wilayah-wilayah Indonesia berada dalam negara-negara bagian menciptakan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan, tidak jarang era pemerintahan federal Indonesia telah menciptakan revolusi pisik di beberapa wilayah Indonesia.
            Momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kelima RI, 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan Indonesia. Pada saat itu, Konstitusi RIS dengan segala konsekuensinya berubah menjadi UUD Sementara (disingkat UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Era 1950-1959 merupakan periode demokrasi konstitusional, meskipun dalam kurun waktu itu, Indonesia hanya bersandar di bawah UUDS 1950. Konstitusi ini sekaligus menjadi the starting point bagi upaya pembentukan sebuah negara modern Indonesia yang berbentuk kesatuan. Menurut catatan Mahfud, dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (LNRIS Tahun 1950 No. 56), sebab pemberlakuannya ditetapkan dalam UU tersebut.
            Dengan demikian fungsi UU No. 7 Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS, atau lebih tegas lagi hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS. Dengan sendirinya setelah UUDS 1950 itu berlaku, maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 menjadi selesai. UU ini hanya berlaku satu kali.
            Menurut Soepomo, UUDS 1950 adalah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara formil sebuah perubahan Konstitusi Sementara RIS. Perubahan Konstitusi RIS memungkinkan dilakukan guna melahirkan UUD yang baru mengingat perubahan konstitusional ketatanegaraan akan berubah seiring dengan perubahan konstitusi, sesuai dengan amanat Pasal 190 ayat (1) Konstitusi RIS, yang berbunyi sebagai berikut:
            Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam Pasal 51, ayat kedua, maka konstitusi ini hanya dapat diubah dengan undang-undang federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hanya diperkenankan atas kuasa undang-undang federal, baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang menghadiri rapat.
            Berbeda dengan dua konstitusi sebelumnya, UUD 1945 dan Konstitusi RIS 1949, kesementaraan UUDS 1950 lebih eksplisit ditegaskan. Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal proses perumusan sebuah UUD masih diserahkan kepada lembaga yang representatif yang memiliki otoritas. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 134 Konstitusi RIS menyatakan bahwa, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) berama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar ini (Konstitusi RIS, pen.). untuk merealisasikan keinginan tersebut, maka dilaksanakan pemilihan umum (general election) pada tahun 1955, pemilu pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia.
            Bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang dapat dikeluarkan oleh penguasa pada masa Undang-undang Dasar Sementara yang terdapat penyebutannya di dalam Undang-undang Dasarnya ialah :
1.   Undang-undang yaitu bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, berdasarkan pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara.
2.          Undang-undang Darurat yaitu dibuat oleh Pemerintah sendiri dalam hal ikhwal yang mendesak, berdasarkan pasal 95 Undang-undang Dasar Sementara.
3.      Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah sendiri berdasarkan pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara, untuk melaksanakan lebih lanjut pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara.

d.        Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959 - 19 Oktober 1999)

            Sebagaimana halnya UUD 1945 dan Konstitusi RIS 1949, masa berlaku UUDS 1950 pun terbilang singkat. Sejak berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, maka melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada pemberlakuan UUD 1945.  Sehubungan dengan hal itu, Mohammad Tolchah Mansoer mengatakan sebagai berikut:
            Kalau pada hari-hari pertama menjelang proklamasi kita menyusun Undang-Undang Dasar dirangsang oleh keinginan dan cita-cita terbentuk negara, dari tiada bernegara sendiri menjadi bernegara sendiri, kemudian menghadapi Konstitusi RIS kita sesungguhnya menghadapi secara langsung fisik dan psikis penjajah, lalu kita kembali kepada asal cita-cita kita dan terbentuklah Undang-Undang Dasar Sementara RI, tetapi menghadapi kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, sesungguhnya kita ditandai oleh ketidakstabilan di dalam negeri.
            Kenyataan ini berimplikasi kepada materi muatan konstitusi itu sendiri. Apa yang pernah dimuat dalam UUD 1945 pada masa awal berlakunya, dinyatakan berlaku kembali terhitung sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan jatuhnya Pemerintahan Soeharto Mei 1998. Dengan kata lain, berlakunya UUD 1945 untuk kedua kalinya memiliki masa berlaku yang relatif lebih panjang dibandingkan UUD sebelumnya, termasuk UUD 1945 periode proklamasi.
            Berdasarkan hasil Pemilu 1955, sebenarnya Konstitusi diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintahan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Hanya saja, selama persidangan maraton Majelis Konstituante yang beranggota 544 orang, sejak 10 November 1956, telah terjadi perdebatan yang hangat dalam tiga agenda pembahasan, yakni: pertama, dasar negara (1957); kedua, HAM (1958); dan ketiga, pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959).
            Perdebatan di tubuh Konstituante menimbulkan reaksi tersendiri di masyarakat dan pemerintah. Ditambah lagi, suasana sosial-politik dan keamanan Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Maka, di sinilah muncul desakan di luar Konstituante agar Majelis Konstituante menghentikan segala pembahasan dan menyatakan kembali kepada UUD 1945. Munculnya ide terakhir ini mengingat secara formal, UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh kembali sistem pemerintahan dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, maka UUD 1945 menjadi pilihan yang terbaik, meskipun kemunculan ide ini mengundang reaksi yang tidak kecil di kalangan Majelis Konstituante.
            Guna memperkokoh kedudukannya sebagai Presiden, Soekarno melalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari 1959 di Bogor, telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) di bawah Soekarno dengan menegaskan kembali UUD 1945. Keputusan Dewan Menteri ini merupakan langkah awal kearah pemberlakuan kembali UUD 1945. Dalam putusannya mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya prinsip demokrasi terpimpin. Dan demokrasi terpimpin adalah demokrasi. UUD 1945, dalam keputusan Dewan Menteri itu, dipertahankan sebagai keseluruhan. Adapun mengenai perubahan UUD 1945 dikembalikan pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
            Keputusan inilah yang kemudian yang dijadikan sebagai alat mobilitas kekuatan di luar Konstituante sehingga persidangan Majelis Konstituante menjadi tidak kondusif. Bahkan, tekanan secara politik yang dilakukan oleh kekuatan Angkatan Darat yang mendesak agar secepatnya mengambil langkah untukkembali kepada UUD 1945 merupakan bentuk intervensi pemerintah yang seharusnya tidak boleh terjadi.
            Realitas politik ini semakin diperkeruh dengan suasana perpolitikan Indonesia yang mengkhawatirkan. Beberapa bentuk pemberontakan muncul sebagai artikulasi politik yang tidak terakomodasi, baik atas nama kepentingan lokal dan pertarungan ideologis antara negara dan masyarakat maupun pertarungan kekuasaan di lingkungan Angkatan Darat. Atas dasar itulah, Presiden Soekarno menyatakan negara dalam keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg) dan kemudian mengeluarkan Dekrit Prsiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: pertama, pembubaran Konstituante; kedua, memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga, penarikan kembali UUDS 1950 dan dalm waktu sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.
            Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) model Soekarno tidak lebih sebagai upaya menciptakan legitimasi pemerintahan yang otoriter. Terputusnya pemerintah di tangan Soekarno mengakibatkan kontrol atas pemerintahan melemah seiring dengan masuknya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tubuh pemerintahan. Atas dasar itu, kelangsungan pemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan memprihatinkan yang puncaknya terjadi pada peristika Gerakan 30 September 1965.
      Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis hukum dasar ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana setback. Dekrit tersebut menjadi dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945.

e.         Amandemen UUD 1945

            Perubahan UUD merupakan paket terbesar dan terpenting dari sekalian paket reformasi. Mengapa tidak? Perubahan ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan nasional ke depan. Kehidupan generasi mendatang sangat akan ditentukan oleh kejelasan hukum dasar bangsanya hari ini. Jika tidak mampu melahirkana antisipasi konstruktif agenda jangka panjang dengan terbitnya UUD yang komprehensif, maka sangat tidak dapat dibayangkan seperti apa arah kehidupan bangsa apalagi generasi di masa mendatang.
            Perubahan sebuah komstitusi harus dipahami secara objektifproporsional. Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan anak-anak bangsa dan ikatan NKRI, tetapi harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa depan bansa dalam proses perubahan yang bertanggung jawab.
            Dengan paradigma ini, akan membentuk sikap yang proporsional bahwa perubahan konstitusi, selain menghendaki sebuah keterjalinan rasa dan jiwa bangsa dalam kesatuan NKRI, juga berisikan upaya-upaya pembenahan konstruktif secara sistematis dan sinergis bagi segenap proses pembangunan kehidupan nasional hari ini dan akan datang.
            K. C Wheare, ahli hukum tata negara Inggris dalam karyanyayang kerap dijadikan rujukan tentang konstitusi, Modern Consitution, mengatakan bahwa sebuah proses perubahan di hampir semua konstitusi modern harus dilakukan dengan: (1) pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan, dan dengan sadar (that the Constitution should be changed only with deliberation, and not lightly or wantonly); (2) melibatkan peran serta masyrakat secara aktif atas perubahan yang ada (that the people should be given an opportunity of expressing their views before achange is made); dan (3) terjaminnya hak-hak pribadi dan masyarakat (that individual or community rights ... should be safeguarded).
            Ketiga argumetasi penting ini menggambarkan bahwa perubahan konstitusi atau perubahan UUD (grondwetwijziging) adalah hal yang wajar dilakukan. Hal tersebut menjadi niscaya manakala keterdesakan untuk melakukan diperoleh setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang dan bijaksana. Ketiga poin di atas mengisyaratkan letak pentingnya prasyarat-prasyarat dalam melakukan proses amandemen.
            Dalam konteks perubahan UUD 1945, keniscayaan tersebut mengisyaratkan pula terbinanya kesadaran kolektif berbangsa akan penting dan hadirnya sebuah mekanisme perubahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab bersama demi keutuhan, kelangsungan dan masa depan rakyat Indonesia.
            Mekanisme yang dimaksud adalah bahwa perubahan UUD 1945 mensyaratkan terbebasnya proses perubahan yang dilakukan dari berbagai hal minor yang akan mengotori hasil UUD 1945 itu sendiri. Oleh karena itu, meminjam istilah Todung Mulya Lubis, dibutuhkan sebuah morality of the constitution, yakni menemukan karakteristik konstitusi dengan mengedepankan sebuah upaya akomodasi suara dan kepentingan seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi terselubung.
            Perjalanan Amandemen UUD 1945 sepenuhnya berada dalam kewenangan MPR sebagaimana digariskan dalam Pasal 37 UUD 1945. Posisi dan kedudukan MPR dengan kewenangannya tersebut telah mengundang perdebatan yang tajam di kalangan masyarakat. Pada tanggal 19Oktober 1999,melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945 untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000.
Oleh karena PAH I BP MPR tak mampu menyelesaikan perubahan UUD 1945 secara tuntas, maka masa kerja PAH I BP MPR diperpanjang samapi Sidang Tahun MPR Tahun 2002. Tersedatnya proses penyelesaian perubahan UUD 1945 ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya yang paling dominan adalah: pertama, terbatasnya waktu bagi anggota PAH I BP MPR karena disibukkan oleh agenda-agenda persidangan MPR, DPR, dan PAH I BP MPR sendiri. Kedua, kaburnya muatan substansial serta batasan-batasan perubahan yang dilakukan sebagai akibat tarik-menarik kepentingan politik.
            Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi pembangunam nasional sejak turunnya rezim Soeharto (1967-1998). Terdapat 4 kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.

1.        Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan I (19 oktober 1999 - 18 agustus 2000)

       Perubahan I berlangsung dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 14-21 Oktober 1999. Perubahan I UUD 1945 terdiri 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum inti Perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal kekuasaan Presiden (eksekutif). Selama periode keberlakuan UUD 1945 kekuasaan presiden yang kuat. Presiden menjadi pusat kekuasaan yang tanpa batas. Prinsip concentration of power and responsibility upon the president dimanipulasi sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga negara lain di luar eksekutif menjadi tidakberfunsi dan dalam waktu yang panjang mengalami “mati suri”.

2.        Undang-undang dasar 1945 dan perubahan I dan II (18 agustus 2000 - 9 November 2001)

       Adapun Perubahan II UUD 1945 ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000. Beberapa perubahan terdiri dari 5 Bab dan 25 Pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.


3.        Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, dan III (9 November 2001 -10 Agustus 2002)

       Perubahan III UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1 sampai 9 November 2001. Beberapa perubahan yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C.

4.        Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I,II,III, dan IV (10 Agustus 2002)

       Perubahan IV UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002. Beberapa perubahan terdiri atas 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Namun demikian,  menarik untuk diamati bahwa ternyata, meskipun hasil amandemen IV UUD 1945 secara resmi ditetapkan melalui Tap MPR No. 1/MPR/2002, namun Tap MPR tersebut menyatakan bahwa dipandang perlu membentuk suatu Komisi Konstitusi (KK) yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tetang Perubahan UUD 1945.
            Hasil Perubahan IV UUD 1945 sebagai hasil dari totalitas Perubahan UUD 1945 mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat. Selain muatan dan proses perubahnnya sangat diwarnai dengan vested interest para politisi MPR, paradigama konstitusionalismenya pun dinilai “kabur” dari semangat kehidupan nasional Indonesia. Keluarnya Tap MPR No. 1/MPR/2002 yang kecuali sebagai pertanda bahwa “Konstitusi 2002” itu belum terealisasi dengan baik, juga mengindikasikan bahwa MPR sudah mulai peka terhadap masukan-masukan dan sikap kritis masyarakat. Sikap terbuka dan pengakuan tidak langsung MPR ini juga mengisyaratkan pentingnya upaya kolaborasi yang sinerjik antara MPR danrakyat.
            Wacana keberadaan KK berikut juga klaim atas rancu dan rendahnya kualitas “Konstitusi 2002” versi MPR mendapatkan perhatian serius dari publik. Berbeda dengan KK versi MPR, yang sepenuhnya adalah hasil bentukan Badan Pekerja dan dipandang memiliki independensi yang “minor”, maka sejumlah tokoh dan ilmuwan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik membentuk sebuah “proyek” komisi konstitusi independen yang bernama Koalisasi untuk Konstitusi Baru.
            Munculnya Koalisi Komisi Konstitusi harus dipahami sebagai sebuah alur berpikir yang dewasa. UUD 1945 harus memiliki kekuatan fundamental dan menjadi referensi bagi kerangka pembangunan nasional. Atas dasar itu, UUD 1945 yang diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana. Dorongan ke arah terciptanya konstitusi baru yang lebih mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat adalah cita-cita seluruh rakyat Indonesia.
            Munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi untuk Konstitusi Baru dan sebagainya adalah sebuah realitas dalam kehidupan demokrasi. Kecuali itu, agar tercapai maksud mulia baik versi MPR maupun dari Koalisi sendiri, untuk membangun konstitusi baru yang memiliki paradigma kerakyatan.
            Kehadiran konstitusi adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, proses penyempurnaan dan kematangan konstitusi mutlak dilakukan. Persoalan konstitusi adalah persoalan eksistensi bangsa, meminjam istilah ahli hukum Afrika Selatan, konstitusi sebagai autobiografi suatu bangsa. Keterjaminan dan kelangsungan hidup anak bangsa akan sangat diukur dari sejauh mana konstitusionalisme Indonesia memberikan dasar yang kokoh dalam menyahuti perkembangan dan perubahan zaman.
   

BAB 3  HAK ASASI MANUSIA

            Hak asasi manusia menurut Miriam Budiardjo (2008) adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat, tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan unutk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.                                                 
Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB, sebagaimana diikuti Baharudin Lopa, (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.

LATIHAN
1.    Jelaskan instrumen nasional dan internasional HAM!
A.    Instrumen Nasional HAM yaitu sebagai berikut.
1). Undang–Undang Dasar 1945
            Istilah hak asasi manusia dalam UUD 1945 secara eksplisit tidak ada, namun secara implisit kita dapat menafsirkan bahwa hak asasi manusia dapat ditemukan pada bagian Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan pada bagian batang tubuh UUD 1945 mulai pasal 27 sampai dengan pasal 31. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan sebagai berikut. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Dari bunyi paragraf pertama Pembukaan UUD 1945 ini jelaslah bahwa hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan bagi semua bangsa mendapat jaminan dan dijunjung tinggi oleh seluruh bangsa Indonesia. 
            Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dapat dibagi menjadi lima dimensi sebagai berikut:
1.   Hak atas kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat (pasal 28)
2.   Hak atas kebebasan beragama (pasal 29)
3.   Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul (pasal 28)
4.   Hak atas perlindungan dan kedudukan yang sama di depan hukum (pasal 27 ayat 1)
5.   Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
6.   Hak atas pendidikan (pasal 31).
Pengakuan akan hak asasi manusia dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945, di dalam alinea I: “.....Kemerdekaan ialah hak segala bangsa...dst.” alinea ini menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap hak kemerdekaan bagi semua bangsa dan pernyataan anti penjajahan.  
Di dalam alinea II dinyatakan : “...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik dan ekonomi.
Di dalam alinea III dinyatakan:”...Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas...”dst, menunjukkan pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
            Di dalam alinea IV dinyatakan :”...melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia...” dst. Alinea ini merumuskan dasar Pancasila yang mengandung pengakuan akan hak – hak asasi manusia.
            Pengakuan akan hak asasi manusia juga termuat di dalam pasal–pasal yang terdapat pada Batang Tubuh UUD 1945.
a).   Pasal 27
  Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi.
b).   Pasal 28 A
Pasal ini memberikan jaminan akan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
c).   Pasal 28 B
       Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk keluarga, melanjutkan perkawinan melalui perkawinan yang sah, jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi.
d).   Pasal 28 C
Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya serta hak kolektif dalam bermasyarakat.
e).   Pasal 28 D
Pasal ini mengakui, menjamin perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum, hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak atas status kewarganegaraan.
f).   Pasal 28 E
Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali, Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
g).   Pasal 28 F
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
h).   Pasal 28 G
Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia, hak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
i).   Pasal 28 H
Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan, hak atas jaminan sosial, hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif).
j).   Pasal 28 I
Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut, hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
k).  Pasal 28 J
Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Juga menegaskan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan-pembatasannya sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam negara demokratis.
l).   Pasal 29
Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
m).  Pasal 31
Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
n).   Pasal 32
Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya. o).   Pasal 33
Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya. 
p).  Pasal 33
Hak  atas  jaminanan  dalam  bidang  ekonomi  berupa  hak  memiliki  dan menikmati hasil kekayaan alam Indonesia .
q).   Pasal 34
Hak atas jaminan bagi anak terlantar dan fakir miskin.

2). Undang – undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

            Dalam amandemen kedua UUD 1945, ada ketentuan yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang berisikan pasal 28 A sampai 28 J (penyempurnaan pasal 28). Dalam UU tersebut tampak bahwa jaminan hak asasi manusia lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas 11 bab dan 106 pasal. Apabila dicermati, jaminan tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 secara garis besar meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2.    Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3.   Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4.      Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5   Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk  agama   masing-masing,   tidak   boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan  tanpa  diskriminasi,  bebas  bergerak,  berpindah  dan bertempat tinggaldi wilayah Republik Indonesia.
6.      Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7.  Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8.      Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9.      Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10.   Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

3). Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak

            Pada bulan Desember 1989 Majelis Umum PBB menyepakati sebuah resolusi yaitu resolusi tentang konvensi hak-hak anak ( Convention on The Rights  of  the  Child  ).  Pada  tahun  1990,  pemerintah  Indonesia  meratifikasi konvensi hak-hak anak ini dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak- hak Anak.
4). Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam.
            Ketentuan pokok konvensi ini mengatur tentang pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya.

B.  Berbagai instrumen HAM yang berlaku secara internasional, diantaranya:

a. Kovenan International tentang Hak – hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social and Culture Rights).
            Kovenan ini lahir pada tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 3 Januari 1976. Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup:
1) hak atas pekerjaan,
2) hak untuk membentuk serikat kerja,
3) hak atas pensiun,hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya dan
keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang layak,
4) hak atas pendidikan.

b. Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik (The International Covenanton Civil and Political Rights/ICCPR).

            Kovenan ini lahir tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan berlaku pada 23 Maret pada 1976. Hak – hak sipil dan politik yang dijamin dalam kovenan ini yaitu :
1) hak atas hidup,
2) hak atas kebebasan dan keamanan diri,
3) hak atas keamanan di muka badan – badan peradilan,
4) hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, beragama,
5) hak berpendapat tanpa mengalami gangguan,
6) hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
7) hak untuk berserikat.

c. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.

            Protokol opsional ini, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 23 Maret 1976. Protokol Opsional/pilihan berisikan pemberian tugas pada Komisi Hak –Hak Asasi Manusia untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu – individu warga dalam wilayah kekuasaan negara peserta Kovenan yang menjadi peserta Protokol, yang mengaku telah menjadi korban pelanggaran terhadap salah satu hak yang dikemukakan dalam Kovenan Hak –hak Sipil dan Politik. Pengaduan itu dapat diajukan secara tertulis kepada Komisi Hak–Hak Asasi Manusia.setelah semua upaya domistik (dalam negara warga yang bersangkutan) yang tersedia telah di tempuhnya, tetapi tidak menampakan hasil.

d. Protokol Opsional Kedua terhadap Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik dengan tujuan Penghapusan Hukuman Mati. Protokol ini diadopsi pada 15 Desember 1989, dan berlaku pada 11 Juli 1991.

e. Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women/CEDAW ).
            Konvensi ini mulai berlaku tahun 1981. Dokumen ini merupakan alat hukum yang paling lengkap (komprhensif) berkenaan dengan hak – hak asasi wanita, dan mencakup peranan dan status mereka. Dengan demikian dokumen ini merupakan dasar untuk menjamin persamaan wanita di negara – negara yang meratifikasinya.

f. Konvensi Internasional Penghapusan terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).


g. Konvensi Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

            Konvensi ini disepakati Majlis Umum PBB dalam sidangnya ke 44 pada Desember 1989. Menurut konvensi ini, pengertian anak yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi ini dicetuskan karena ternyata di berbagai belahan dunia meskipun telah di deklarasikan DUHAM yang juga melindungi harkat anak – anak sebagai manusia, ternyata belum dilaksanakan dengan baik. Banyak anak dipekerjakan di bawah umur, di kirim ke medan perang, diperkosa, dll. Perlakuan anak sebagai manusia sepenuhnya masih diabaikan. Misalnya, anak – anak tidak pernah didengar suara dan pandangan mereka, ketika menetapkan suatu kebijakan publik maupun kebijakan yang menyangkut anak sendiri. Padahal mereka akan terkena akibat atau akan merasakan dari setiap kebijakan publik yang
diambil.

2.    Jelaskan  upaya  yang  telah  dilakukan  pemerintah  dalam  memajukan,  dan melindungi HAM di Indonesia!

            Perkembangan untuk memajukan dan melindungi HAM di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya dinamika politik dalam negeri dan internasional. Oleh karena itu, di selain adanya pengaruh dari faktor-faktor subyektif dan obyektif seperti kepentingan nasional dan sejarah nasional, maka lingkungan eksternal yang dalam hal ini adalah sikap dan pandangan dunia internasional, turut mempengaruhi upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.
            Cita-cita untuk memajukan dan melindungi HAM di Indonesia bukanlah hal yang baru. Para pendiri negara ini telah memikirkan masalah HAM, seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan isi dari UUD 1945 itu sendiri. Namun upaya pemajuan  dan perlindungan HAM di Indonesia mengalami pasang  surut sesuai perkembangan politik dan pembangunan bangsa. Pada masa-masa lalu, yaitu masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, kehidupan sosial-politik negara sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang otoriter yang dibarengi dengan ketidakadilan kondisi sosial-ekonomi. Seluruh elemen HAM penting, yaitu hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat terabaikan, dibatasi dan dilanggar. Kebijakan yang lebih diutamakan adalah penciptaan stabilitas politik yang ditujukan untuk menunjang pembangunan ekonomi. Pemajuan dan perlindungan HAM serta demokrasi berjalan sangat lambat dan bahkan cenderung dikorbankan.
            Tidak adanya demokrasi bahkan telah menyebabkan mudahnya terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap hak-hak sipil yang melekat pada setiap individu (non-derogable rights), seperti penahanan semena-mena, penyiksaan, penghilangan secara paksa dan pembunuhan. Selama masa itu pula Indonesia menjadi bulan-bulanan kritik dan kecaman masyarakat internasional, terutama setelah terjadinya tragedi Santa Cruz, Timor Timur.
            Perhatian terhadap HAM mulai bergeser seiring dengan perubahan di dunia internasional pada akhir tahun 1980-an dan terus bergulir pada era reformasi menuju demokrasi. Isu HAM menjadi isu penting dalam agenda kebijakan dan politik luar negeri negara-negara maju (kelompok Barat). Kondisi global tersebut telah memberikan dorongan tumbuhnya kesadaran masyarakat domestik Indonesia akan pentingnya pemajuan dan perlindungan HAM. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan penting bagi Departemen Luar Negeri dalam meletakan isu HAM dalam konteks kepentingan nasional dalam kebijakan hubungan luar negeri.
            Upaya-upaya yang dilakukan Departemen Luar Negeri sebagai institusi pemerintah dan didukung para pemangku kepentingan lainnya yang sejak awal tahun 1990-an melakukan kebijakan pro-aktif dan bukan reaktif dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan arti penting penghormatan terhadap HAM mulai menunjukan hal yang positif seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam negeri dari proses era reformasi menuju era demokrasi. Di bawah kepemimpinan Presiden Habibie, Megawati, Abdurrahman Wahid dan Presiden S.B. Yudhoyono, pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia mengalami kemajuan pesat dan luar biasa dan hal ini diakui dunia internasional.
            Sejak saat itu terdapat kemajuan di bidang HAM yang monumental di Indonesia, terutama menyangkut aspek legislasi nasional dan kelembagaan dengan meratifikasi berbagai instrumen pokok HAM internasional, termasuk UU 12 dan 11 mengenai Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Adanya Komisi Nasional HAM, terbitnya UU no.39 tahun 1999 mengenai HAM dan UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM semakin memperkokoh upaya penegakan HAM di Indonesia.
            Di bidang kelembagaan, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM ke-1 periode 1998-2003 dan RANHAM ke-2 periode 2004-2009). Demikian halnya di bidang penegakan HAM dari aspek hukum, Indonesia merupakan salah satu dari hanya sedikit yang memiliki pengadilan HAM. RANHAM tersebut di atas terus berkembang dan dijabarkan menjadi RANHAM di berbagai daerah. Selain itu telah berdiri pula Pusat-pusat Kajian HAM di sejumlah perguruan tinggi.
Indonesia juga melangkah maju, yaitu disamping terbentuknya Komnas HAM, terbentuk pula Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak Indonesia serta institusi HAM nasional lainnya, termasuk terbentuknya Direktorat Jenderal HAM di Departemen Hukum dan HAM, adanya Direktorat HAM di Departemen Luar Negeri serta beberapa institusi pemerintah yang mengurusi masalah HAM.
                        Upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan demokratisasi yang sedang berlangsung. Saat ini, masalah HAM telah menjadi salah satu aspek utama dalam pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam “Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009” yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 yang diterbitkan melalui Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005.
Namun harus kita akui masih adanya beberapa isu yang menjadi perhatian dunia internasional, seperti situasi HAM di Papua; tuduhan pelanggaran HAM masa lalu dengan Timtim; penangkapan, penghilangan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM (seperti almarhum Munir), penutupan dan diskriminasi tempat ibadah; tindakan kekerasan bernuansa kesukuan dan agama.
            Pemajuan dan perlindungan HAM telah menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung. Bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap yang lebih tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan No.XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti dengan perubahan kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal yang secara rinci dan tegas mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk lebih melindungi clan memajukan HAM, Pemerintah telah mengesahkan Undang Undang HAM No.39 tahun 1999 dan Undang-Undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.                Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 4 dari 6 instrumen pokok HAM intemasional, yaitu Konvensi PenghapusanDiskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan clan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Indonesia telah pula
menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan Intemasional Hak-Hak Sipil clan Politik dan Kovenan Intemasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A).
            Dalam hal kelembagaan, Komisi Nasional HAM telah dibentuk pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden No.50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.39 tahun 1999, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden no.181 tahun 1998, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden no. 77 tahun 2003. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden no.40 tahun 2004 telah mengesahkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) Indonesia Kedua tahun 2004 - 2009 yang merupakan kelanjutan dari RAN HAM Indonesia Pertama tahun 1998 - 2003. RANHAM Indonesia disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
            RANHAM Indonesia juga dimaksudkan sebagai panduan dan rencana umum dengan kerangka waktu yang jelas untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk untuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Kelompok rentan mendapat perlakuan khusus agar kepentingan mereka dapat terakomodasi dengan baik dalam pelaksanaan RANHAM tahun 2004-2009.
Enam program utama RANHAM Kedua tahun 2004 - 2009, yaitu:
1.        Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM
2.        Persiapan ratifikasi instrument HAM internasional
3.        Persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan
4.        Diseminasi dan pendidikan HAM
5.        Penerapan norma dan standar HAM
6.        Pemantauan, evaluasiclan pelaporan
            Berbagai kerjasama Internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah dilakukan oleh Pemri. Beberapa diantaranya adalah Penyelenggaraan Loka Karya HAM Regional Kedua untuk kawasan Asia Pasifik tahun 1993 dan MOU Pemri - KTHAM di bidang kerjasama teknik di bidang HAM tahun 1998. Di tingkat ASEAN, sejak tahun 1993 Indonesia menjadi salah satu pelopor bagi upaya pembentukan mekanisme HAM ASEAN dan telah dua
kali menjadi tuan rumah Lokakarya Kelompok Kerja Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN.Indonesia juga mendorong kerjasama bilateral dalam upaya pemajuan HAM dengan Kanada, Norwegia dan Perancis, dalam rangka ASEM bersama Swedia, Perancis dan China serta kerjasama Plurilateral bersama China, Kanada dan Norwegia.


 DAFTAR PUSTAKA

·         Mahfud, Moh. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
·         Rosyada, dede dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.

·         El-Muhtad, Majda. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002Jakarta: Kencana.

·         Joeniarto. 1974. Selayang Pandang Tentang; Sumber-sumber Hukum Tatanegara Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

·         Soebagio, M .1976. Lembaran Negara Republik-Indonesia sebagai Tempat Pengundangan dalam Kenyataan. Bandung: Alumni.

·         Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: “Paradigma”

·         Hanafie, Usmana dkk. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi; Membina Karakter Warga Negara yang Baik. Banjarmasin: UPT     MKU (MPK-MBB) Universita Lambung Mangkurat.

·         Bahagijo, Sugeng dan Asmara Nababan. 1999. Hak Asasi Manusia;Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar